25

3.8K 309 70
                                    

PUNTEN...

***

Di tengah gelapnya malam, seorang pria menyeret kakinya masuk kedalam bangunan tua yang menjulang, gedung bertingkat yang di hentikan pembangunan puluh tahun lalu. Di depan, sudah ada tanda di larang masuk oleh polisi namun pria ini, dia tetap memaksa untuk masuk kedalam.

Bajunya basah, bahunya tidak setegap biasanya, kepalanya menunduk dan langkah gontai. Ia tidak tau mau melangkah kemana sampai ia teringat gedung ini, bangunan yang sering di jadikan tempat ngumpul teman-temanya. Tempat yang akan ia jadikan keluh kesah, tempat yang akan menerimanya ketika ia merasa kalah. Dan kekalahan itu baru saja ia rasakan.

Angin menyambut kedatangannya ketika langkahnya sampai pada lantai 3, menerpa menyapa tubuhnya yang ringkih. Matanya terpejam, menahan dingin yang seakan menusuk sampai tulang. Bagaimana bisa ia menyambut hari esok setelah hari ini terasa begitu mengerikan, di waktu yang bersamaan ia telah kehilangan sumber dari kekuatannya.

Aran, pria yang terlihat sangat menyedihkan itu bersandar pada tiang di tengah gedung, ia seperti tidak mampu lagi menopang berat badannya. Kekalahan hari ini melemahkan semua semangatnya. Tidak ada yang bisa ia jadikan pegangan, raganya seakan di paksa untuk jatuh.

Aran menyeka kasar air matanya saat mendengar samar suara langkah kaki, kepalanya mendongak melihat seseorang yang berjalan menuruni tangga di dengan langkah gontai. Senyumnya terpatri, meski kepala pria itu menunduk dan tertutup tudung Hoodie, Aran masih bisa mengenali siapa pria yang tengah berjalan mendekat kearahnya.

"Zee, kamu disini juga?" Aran masih tersenyum, sampai senyumnya memudar saat sahabatnya itu membuka tudung Hoodie nya. Aran terkejut mendapati mata pria itu yang memerah, air mukanya tidak seperti biasanya dan bau alkohol tercium jelas di indra perciumanya. Masalah apa yang sedang Zee alami sampai pria itu nekat untuk minum.

Zee tersenyum menyeringai membalas tatapan Aran yang terlihat sangat terkejut. Langkahnya semakin mendekat, sangat dekat sampai tidak ada jarak di antara mereka. "Manusia akan merasa paling tersakiti ketika dirinya merasa kalah."

Aran menahan napas, kepalanya menoleh ke samping saat posisi kepala Zee sangat dekat dengan wajahnya, Zee menempelkan keningnya pada tiang yang sempat Aran jadikan sandaran. "Tapi mereka lupa untuk mempertanyakan penyebab kekalahan itu."

Aran memejamkan matanya, suara tawa Zee terdengar sumbang menggema di dalam gedung.

"Hari ini, kita sama-sama kalah. Aku kalah dengan perasaannku dan kamu kalah dengan percintaanmu." Zee menghentikan tawanya, matanya yang sempat terpejam kini kembali terbuka, Zee menegakkan kembali tubuhnya untuk menatap lebih dalam wajah pria di depannya. "Kita bersahabat, kita besar dan tumbuh di lingkungan yang sama. Hampir setiap hari kita bersama, senang susah kita rasakan bersama, tapi kenapa kekalahan juga harus kita terima di waktu yang sama?"

"Zee, lo lagi mabuk, gue gak ngerti apa yang lagi lo omongin." Aran menangkup wajah Zee, menampar pelan untuk menyadarkan pria itu namun yang terjadi tanganya malah di tepi kasar oleh Zee.
"Lo gak baik-baik aja Zee, lo-"

Bugh...

Tubuh Aran terhuyung ke belakang saat tiba-tiba Zee menjatuhkan pukulan kerasa di wajahnya. Aran menatap Zee terkejut.

"Gue emang lagi gak baik, orang yang gua cinta dia jutrsu malah mencintai orang lain." Zee menarik paksa tubuh Aran untuk mendekat dan langsung mencengkram kemejanya. "FIONY SUKA SAMA LO ANJING, LO PENYEBAB KEKALAHAN GUE HARI INI." dengan kasar Zee mendorong tubuh Aran di susul kakinya yang bergerak menendang perut Aran.

Aran jatuh tersungkur di lantai yang berdebu, mulutnya terkatup menahan ringisan. Aran tidak mengerti, untuk pertama kalinya ia melihat Zee semarah ini sampai harus memukulnya. Dan apa yang dia katakan? Fiony? Benarkah apa yang dia ucapkan?

PROMISE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang