Ketika aku kecil, orang dewasa terbiasa menakutiku dengan cerita-cerita seram. Ceritanya begitu kuno dan klise, tapi aku tetap merasa takut setiap mendengar mereka menceritakan kisah buatan tersebut. Tetapi, aku akan berpura-pura bersikap berani dan tak peduli, sebab aku yang paling tua di antara teman-teman sebayaku.
"Kamu takut, kan?" ejek Karel, saudara kembarku.
"Gak!" balasku dengan nada tinggi.
"Kamu kan penakut?!" ujar anak lainnya, dia anak laki-laki, tetanggaku yang paling menyebalkan, dia banyak makan dan selalu menganggu kucing-kucing di sekitar rumah.
"Kael gak takut apapun! Iyakan, Kael?" bela si anak sok tau yang paling aku benci.
Aku menatap anak itu dengan tatapan menghina, dia memang aneh. Dia selalu membelaku, tapi hari itu dia memberikan hal yang paling aku benci di dunia, di tambah di hari ulang tahunku yang istimewa.
"Kamu yang penakut! Aku liat kamu nangis karena ibu kamu pergi" ujarku menyerangnya.
Anak laki-laki itu terdiam, sepertinya dia hampir menangis namun Karel segera mencubit pipi kananku. Aku menangis paling kencang saat itu, mungkin bukan karena sakitnya cubitan Karel, tapi karena aku sangat ketakutan saat itu. Aku sudah menahannya sekuat tenaga, tapi mereka terus menggangguku, aku sangat membenci hal itu.
"Mika?" panggil seseorang dengan suara tenang.
Aku mengintip dengan sebelah mataku. Aku hampir berteriak, namun segera menahan diriku ketika mengetahui bahwa orang tersebut bukanlah sesuatu yang mengancam.
Aku segera keluar dari tempat persembunyianku, aku berdeham dengan canggung menghadapi laki-laki tersebut.
"Lu ngapain?" tanyanya terheran-heran.
"Gue? Gue lagi nyari cincin!" kelakku membuat alasan agar tak terlihat begitu memalukan.
"Tapi bentar lagi bel, lu gapapa ada di sini?" tanyanya dengan wajah cemas.
"Lu sendiri ngapain di sini? Jangan bilang lu ngikutin gue?!" tuduhku tak berdasar.
"Kenapa gua ngikutin lu? Gua ngambil bola," jawabnya dengan jujur.
Aku kehabisan kata-kata begitu melihat bola yang ia jadikan alasan benar ada di tempat yang dia tunjuk. Mungkin seseorang membuat bola tersebut menggelinding sampai ke tempat ini, aneh tapi masih masuk akal. Lalu apa yang aku lakukan, cincin apanya, siapa yang akan percaya bahwa sebuah cincin akan menggelinding ke tempat seperti ini.
Aku menghela napas dalam-dalam, kehabisan bahan untuk pembicaraan kami. Yang bisa aku lakukan hanyalah menunggunya untuk pergi dari tempat ini dengan begitu aku bisa melompati tembok tersebut, aku tidak memiliki banyak waktu untuk hal seperti ini.
"Lu gak pergi?" tanyaku.
"Iya, gua mau ke kelas, terus lu? Oh? Lu ngerokok?" ucapnya lalu berbisik di akhir kalimat.
Aku tercengang mendengar kecurigaannya, sepertinya pertanyaan itu memang masuk akal, mengingat aku berada di tempat tersembunyi seperti ini.
"Bener! hahaha!" jawabku di ikuti tawa canggung.
Aku gelisah mengingat waktuku tak banyak lagi, aku tak bisa berhenti menghentakan kakiku ke bumi.
Laki-laki itu hendak berbalik namun kemudian kembali mengajakku berbicara.
"Mikaela? IPS-2?" tanyanya menyebut diriku.
"Iya, bener. Kenapa?" tanyaku bingung.
Dia melepas tasnya dan mengeluarkan sesuatu yang amat-amat berharga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, diary
Teen FictionDear, diary Aku, Mikaela Picessa, menulis malam ini dengan penyesalan dan tanya. Dulu, dalam kekelaman jiwa, aku pernah menuliskan keinginan untuk menghapus seorang dari dunia ini. Kini, bertahun-tahun kemudian, orang itu menghilang, seolah lenyap d...