Mengabaikan rasa takutku, aku memilih untuk menghampiri keduanya lebih dulu. Kupikir dengan mendekatkan diri kepada mereka akan membuat masalahnya segera selesai. Aku terus mengikuti Irene, menempel padanya meski Irene menunjukkan perasaan risih akan tindakanku.
"Ngapain sih lo?" tegurnya dengan nada tinggi.
Aku melepas cardigan sekolahku dan mengaitkannya di pinggang Irene berusaha menutupi bagian belakang tubuhnya. Irene nampak terkejut lalu ia melepas cardigan di pinggangnya dan membiarkannya jatuh ke lantai begitu saja, ia segera lari menuju toilet di depan lorong. Aku menatap cardiganku yang sudah jatuh ke lantai dan memungutnya dengan perasaan pahit. Aku menyusul Irene di toilet. Aku mengetuk kabin toilet dan meletakkan sesuatu yang ia butuhkan saat ini. Selesai dengan itu, aku pergi meninggalkan toilet menuju kantin.
Aku dengan nampan makanan di tanganku berdiri di tengah kantin untuk mencari tempat duduk, seketika itu aku melihat Sophia bersama teman-teman perempuan lainnya. Dengan perasaan gugup aku berjalan menghampiri meja mereka.
"Hai" sapaku sebelum duduk di depan hadapan Sophia.
Aku bisa merasakan tatapan heran dan tajam, tak ingin merasa terintimidasi aku tersenyum pada Sophia, menatapnya dengan ramah.
"Ngapain lo?" tanya Sophia dengan wajah yang nampak risih dan kebingungan.
"Kenapa?" tanyaku bingung.
Sophia menyeringai dan menyilangkan kedua lengannya di bawah dada ia bersandar dengan wajah sinis menatapku jijik. Anak - anak lain berbisik seakan menggunjingku.
"Selain munafik ternyata lo juga gatau malu ya" maki Sophia dengan sinis.
Aku berhenti makan dan mencoba meyakinkan diriku atas apa yang baru saja aku dengar.
"Munafik?" tanyaku, aku menatap Sophia dengan penuh tanda tanya.
"Kenapa? Kaget gue tau kebusukan lo?" ketusnya.
"Di depan sok-sokan jadi temen tapi di belakang nusuk" cibir lainnya.
Aku menatap Sophia, aku bisa melihat mata Sophia yang nampak sangat membenciku. Aku menatap sekeliling dengan bingung dan kecewa, aku tak bisa lagi berkata-kata karena terlalu terkejut.
"N-nusuk? Maksud kalian?" tanyaku terbata.
"Orang kayak lo bahkan gak pantes buat di jadiin temen" ujarnya kasar.
"Sophia?" ucapku terkejut dengan sikapnya.
"Jangan sebut nama gue lagi!" geramnya. Sophia dan anak-anak lainnya bangun dan meninggalkanku sendirian.
Aku masih membeku tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Seisi kantin menatapku dengan penuh rasa dengki, mereka berbisik dan mengataiku.
"Kenapa?" gumamku bingung.
Aku takut, anak-anak di kelas kini benar-benar menjauhiku. Bahkan teman sebangkuku pindah begitu saja. Sepulang sekolah aku mencegah Irene dan Sophia di kelas, mereka menatapku dengan tajam membuatku merasa terintimidasi namun aku menguatkan diriku dan berdiri di hadapan keduanya.
"Sebenernya kenapa? Gue ga ngerti kenapa kalian kayak gini, gue ada salah sama kalian?" tanyaku.
Sophia hanya menyeringai dengan penuh kebencian.
"Lo mau terus pura-pura kayak gini?" tanya Irene dingin.
Aku menggeleng pelan benar-benar tak mengerti dengan apa yang terjadi.
"Gue gatau, gue bener-bener gaj tau tapi gue minta maaf, gua gamau kita kayak gini" ucapku.
"Berlutut" ucap Irene dengan dingin, mengejutkanku dan Sophia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, diary
Teen FictionDear, diary Aku, Mikaela Picessa, menulis malam ini dengan penyesalan dan tanya. Dulu, dalam kekelaman jiwa, aku pernah menuliskan keinginan untuk menghapus seorang dari dunia ini. Kini, bertahun-tahun kemudian, orang itu menghilang, seolah lenyap d...