#Chapter 33 : It is not in the stars to hold our destiny but in ourselves

3 3 0
                                    

"For my part, I know nothing with any certainty, but the sight of the stars makes me dream." 

– Vincent Van Gogh

Cahaya keemasan di sore hari, membuat semuanya semakin terasa tak nyata. Entah ini mimpi atau kenyataan, aku tetap merasa tak hidup. Hatiku terasa begitu hampa namun gelisah sepanjang saat. 

Aku sengaja melewati tempat tinggal Arlen, aku berusaha melihat ke dalam rumahnya. Aku melompat kecil namun masih tak bisa melihat apapun. Pagarnya terlalu tinggi, seolah dibangun agar aku tak dapat menemukannya. 

"Mikaela?" 

Aku tersentak begitu kak Elthan memergokiku di depan rumahnya. Kami pergi ke kafe Seasony untuk berbincang. Aku nampak murung dan hal tersebut menganggu kak Elthan.

"Kalian berantem?" selidiknya.

Aku tak bisa mengelak, aku mengakui hal tersebut dengan putus asa.

"Baru pertama kali dia bersikap kayak gini, kamu pasti berharga buat dia sampai bisa bikin dia kayak sekarang. Arlen bukan orang yang peduli sama apapun, dia jauh lebih tertutup dari yang kamu kira. Tapi kamu gak usah khawatir, nanti juga dia pulang" ungkapnya.

Sabtu pagi, aku pergi menuju toko buku nenek Roselie, berharap aku bisa menemui Arlen di tempat ini. Sayangnya, toko tersebut tutup, di sana juga tak ada kakek Tara ataupun nenek Roselie. Mungkin karena aku datang terlalu pagi, ku harap mereka akan datang dan membuka toko ini secepatnya. Begitu tersadar, aku bisa merasakan hangatnya sinar matahari sore, kakiku hampir mati rasa karena telah berdiri begitu lama. 

Aku hampir putus asa, namun terkagum dengan lautan luas di depan sana. Kakiku melangkah menuju hamparan pasir putih yang lembut. Mataku berbinar, hampir menangis karena terharu melihat keindahan di hadapanku.

"Wah... indah" seru anak perempuan itu.

Aku menoleh ke arah anak kecil itu, sedari tadi dia ada di sekelilingku. Dia nampak begitu ceria dan menginginkan kebebasan.

"Aku boleh lari?" tanyanya meminta izinku.

Aku mengangguk pelan membiarkannya menikmati kebebasan. Dia berlari-larian di hadapanku, aku masih tak bisa mempercayai bahwa anak itu adalah diriku di waktu kecil. Sepertinya aku sudah gila.

"Lu gak pulang?" ucap seseorang dengan suara dingin.

Arlen berjalan ke arahku, aku hampir berlari karena begitu antusias melihat kehadirannya. Dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada, menatapku dengan sinis.

"Arlen..." panggilku pelan.

"Kenapa?!"

"Maaf... Gue tau gue udah nyakitin perasaan lo, maaf, gue bener-bener minta maaf" sesalku.

Padahal aku sudah membuat kalimat panjang untuk menjelaskan penyesalanku kepadanya, namun begitu berhadapan langsung, aku hanya bisa mengucapkan kalimat maaf secara canggung. 

"Udah, kan? Pulang sana" usirnya.

"Tapi gue udah nunggu dari pagi..." protesku pelan, bergumam di hadapannya.

"Kenapa lu jadi jahat banget? Lu ketularan Irene?" keluhnya.

Aku tersenyum tipis, sepertinya Arlen tak begitu marah padaku.

"Maaf... Gue bodoh karena udah bertindak semau gue" sesalku lagi.

Mau Arlen atau diriku, kami sudah saling mengerti tentang keadaan satu sama lain. Dia ingin menolongku, dan aku ingin melindunginya, kami hanya salah paham pada satu sama lain. Aku bersalah karena sempat meragukan dirinya, aku akui bahwa sesaat aku telah menjadi orang yang begitu buruk. 

Dear, diaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang