Sepertinya aku hampir gila, aku bertemu anak kecil itu lagi tadi malam. Aku yakin, kali ini bukan mimpi. Aku menangis, aku bisa merasakan mataku basah dan perih, dadaku sesak dan sakit. Aku sungguh yakin, anak itu nyata. Entah darimana dia hadir, mungkin dari alam bawah sadarku, atau mungkin dia datang dari masa lalu. Aku takut, karena sepertinya ada yang salah dengan diriku. Bagaimana jika aku menjadi seperti Ibu, berhalusinasi dan melakukan hal-hal berbahaya lain. Sekarang aku harus bagaimana...
Melupakan kejadian itu, aku bergegas untuk pergi ke sekolah. Tak ada yang bisa kutemui, Ibu dan tante Helena masih terlelap di kamar mereka, tak ingin membangunkan keduanya, aku segera meninggalkan rumah setelah memastikan bahwa Ibu dan tante Helena bisa menyantap sarapan begitu mereka bangun.
Di persimpangan jalan, aku menemui Yian. Langkahku melambat, memperhatikan bagian belakangnya yang tampak kokoh. Tak aneh jika banyak orang yang menyukai sosok dirinya yang seperti itu, dia anak yang baik, juga memiliki segalanya, dia mungkin sempurna.
Yian berbalik dengan cepat, membuatku terkejut. Aku menatap jendela kaca dari toko roti di depan, mungkin Yian dapat melihat pantulanku dari jendela tersebut. Dengan canggung aku mengangkat tangan kananku, menyapanya.
"Hai," sapaku.
"Hai," balasnya dengan tenang.
Dengan alami, kami berjalan bersama menuju sekolah. Tak banyak yang bisa kami bicarakan, lagipula keadaan di antara kami juga masih kurang baik. Aku memikirkan cara untuk bisa berbaikan dengannya, tapi kata maaf begitu sulit keluar dari mulutku.
Aku tahu jelas, aku sadar bahwa aku bersalah, tapi mengapa begitu sulit untuk mengakui hal tersebut.
Lama berpikir akhirnya aku memberanikan diriku untuk meminta maaf.
"Maaf!" ucapku dan Yian bersamaan.
Kami tersentak, tak menyangka akan mengucapkan kalimat tersebut pada waktu yang bersamaan. Lalu kami tertawa kecil, menganggap konyol situasi saat ini.
"Maaf... gue gak bermaksud buat teriak kayak kemarin" sesalku.
"Iya, gua juga minta maaf" sahutnya.
"Lo pasti kesel, padahal niat lo baik..."
"Gapapa, gue yang udah melewati batas" ujarnya, sembari menurunkan pandangannya.
Aku menepuk kepala Yian lembut, tersenyum tipis dan mengungkapkan rasa terima kasihku dengan pelan.
"Makasih... makasih udah bilang kalo semua yang terjadi bukan salah gue. Gue tau itu cuma kata-kata, tapi gue ngerasa lebih baik setelah denger ucapan lo" ungkapku.
Mata kami saling bertemu, kilau matanya begitu indah, aku hampir kehilangan kendali begitu jantungku berdebar. Anak ini, sangat menarik.
"Gua ulang tahun..." ucapnya tiba-tiba dengan canggung.
"Kapan?" tanyaku, masih meletakan tanganku di atas kepalanya, membuatnya tak bisa menegakan kepalanya.
"Hari ini" jawabnya.
Aku menjauhkan diri dari Yian, berharap bisa memberikannya cukup ruang untuk bernapas.
"Hari ini?! Selamat ulang tahun, kalo lo bilang lebih awal pasti gue udah bawain hadiah" seruku.
"Gak ada yang tau, lu yang pertama ngucapin," ungkapnya.
"Beneran? Bagus kalo gitu! Lo mau hadiah apa? Biar kakak beliin." tambahku dengan bersikap bangga.
"Gimana kalo temenin gue ngerayain nanti malam?" ajaknya.
"Okay! Ah... tapi gue harus kerja dulu, jam 9 gimana? Nanti selesai kerja kita ketemuan di toko ice cream di depan!" ucapku sembari menunjuk ke arah toko ice cream.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, diary
Teen FictionDear, diary Aku, Mikaela Picessa, menulis malam ini dengan penyesalan dan tanya. Dulu, dalam kekelaman jiwa, aku pernah menuliskan keinginan untuk menghapus seorang dari dunia ini. Kini, bertahun-tahun kemudian, orang itu menghilang, seolah lenyap d...