Malam itu setelah operasi selesai di lakukan, dokter mengatakan bahwa operasi berjalan dengan lancar. Lalu sebagai orang dewasa sekaligus wali, tante Helena menemui dokter untuk membicarakan kondisi Ibu.
Menurut hasil penyelidikan para polisi yang di dapat melalui pengakuan saksi mata dan rekaman kamera pengawas, kecelakaan tersebut terjadi akibat supir truk yang berusaha menghindari tabrakan setelah seorang anak laki-laki berlari ke tengah jalanan, supir berusaha untuk menhindari kecelakaan. Kemudian Ibu berlari untuk menarik anak laki-laki tersebut, hal itu membuat Ibu harus jatuh membentur jalanan dan benturan keras tersebut menyebabkan benturan pada kepala bagian belakang dan mengakibatkan pendarahan yang cukup parah. Ibu kehilangan banyak darah lalu akhirnya kehilangan kesadaran dan membuatnya mengalami trauma pada bagian kepala karena cedera yang ia dapat. Yang terburuknya Ibu mengalami pendarahan otak sehingga kini Ibu masih belum sadarkan diri.
Bagaimana bisa aku baik-baik saja setelah mendengar kabar ini. Kami tak pernah tahu apa yang akan terjadi pada Ibu setelah kejadian ini, tapi sungguh aku berharap agar Ibu bisa segera menyadarkan diri. Apa mungkin kemalangan ini terjadi karena niat burukku sebelumnya, untuk sesaat aku berharap agar anak tersebut terluka, namun kini yang terbaring tak sadarkan diri justru adalah Ibuku sendiri. Aku duduk memeluk lututku, sembari menangis menyesali semua yang telah terjadi.
Tak lama wanita tersebut datang bersama dengan beberapa pihak kepolisian, aku berdiri menatapnya dengan penuh kebencian. Seandainya dia menjaga anaknya dengan baik, seandainya dia tak ada di sana , seandainya dia tak pernah hadir di hidupku, semua ini tak mungkin terjadi. Polisi menjelaskan apa yang terjadi, wanita tersebut juga meminta maaf atas apa yang menimpa Ibuku. Aku tahu persis semua ucapannya hanyalah kepalsuan, meski ia menangis darah sekalipun aku tak akan pernah memaafkannya.
"Saya akan tanggung semua biayanya, tapi untuk saat ini saya masih belum bisa melunasi biaya rumah sakit ataupun..." ucapnya terpotong.
"Saya cuma minta satu hal, saya mau Ibu saya sadar dan keadaannya baik-baik aja" tegasku.
"Wali korban ada dimana?" tanya seorang pria yang berdiri di samping tante Sarah.
"Dek, kamu bawa Karel keluar dulu biar Kakak bicara sama anak ini" ucapnya.
"Karel?" batinku.
Aku semakin marah mengetahui wanita tersebut memberi nama anak laki-lakinya tersebut dengan nama yang sama dengan mendiang adik laki-lakiku, Karel. Kini hanya ada aku dan wanita tersebut, ia berbicara seakan apa yang terjadi pada Ibu bukanlah kesalahnya, padahal di depan para polisi ia menangis sembari memohon maaf dariku.
"7,8,9,10,11..." gumamku sembari berhitung menggunakan jari-jari tanganku.
"Ngapain kamu? Saya lagi bicara" ujarnya.
"Masih ada 9 tahun lagi buat anak itu, 9 tahun cukup, kan?" lontarku.
"Apa maksud kamu?" tanyanya.
"Nama anak itu Karel kan? Karel yang saya kenal usianya cuma sampai 16 tahun, hari ini mungkin dia selamat dari maut, tapi saya pastiin hidupnya cuma sampai 9 tahun lagi" kecamku.
Tak terima mendengar perkataanku wanita tersebut menampariku beberapa kali sampai akhirnya beberapa orang datang untuk melerai kami. Ia berteriak dan memintaku untuk menjauh dari keluarganya, namun aku juga mengharapkan hal yang sama sebelumnya, tetapi sekarang aku ingin menghancurkan kehidupannya.
"Jangan-jangan anda juga ngelakuin ini ke Karel?" tanyaku, mengingat kembali apa yang terjadi pada Karel sebelum ia meninggal.
Tiba-tiba aku berpikir apakah ini yang Karel rasakan, apa mereka juga menampar wajah karel seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, diary
Teen FictionDear, diary Aku, Mikaela Picessa, menulis malam ini dengan penyesalan dan tanya. Dulu, dalam kekelaman jiwa, aku pernah menuliskan keinginan untuk menghapus seorang dari dunia ini. Kini, bertahun-tahun kemudian, orang itu menghilang, seolah lenyap d...