Malamnya setelah mulai tenang aku menceritakan semuanya pada tante Helena, sama sepertiku tante Helena menjadi begitu marah dengan apa yang dia dengar. Aku terpaksa menceritakan semua kesulitanku kepadanya. Hanya dengan begitu tante Helena bisa membantuku dan Ibu. Aku memintanya untuk tak memberitahukan hal ini kepada Ibu, apapun yang terjadi. Seharian Ibu tak bangun dari tempat tidurnya, sepertinya Ibu begitu sedih karena mengalami kejadian kemarin.
"Kita pindah dari sini, kamu juga pindah dari sekolah, kita cari sekolah yang jauh lebih baik" ujar tante Helena.
Aku tersenyum pahit, jika aku pergi maka mungkin aku akan menyesali banyak hal. Setidaknya aku ingin menyelesaikan kekacauan yang terjadi saat ini.
"Kalo aku pergi sekarang, mereka bakal terus berpikir aku ngelakuin semua itu. Aku mau selesaiin semuanya dulu, aku bisa buktiin kalo apa yang mereka pikir, semuanya salah" jawabku.
"Kamu gak harus selalu bertindak dewasa, tapi... tante setuju, kamu anak baik, kita gak boleh pergi tanpa membersihkan nama baik kamu. Kamu bakal tumbuh jadi orang dewasa, kamu harus punya nama dan masa lalu yang baik. Lakuin apa yang kamu pikir bisa nyelesaiin semuanya, kalo terlalu sulit, tante pasti bantu kamu" ungkapnya, mendukung pilihanku.
"Makasih tante"
"Kamu tau, kan? Ibu kamu gak akan bertindak seperti itu kalau dia gak sakit. Kamu bisa ngertiin keadaan ibu, kan?" tanyanya.
"Iya, aku ngerti, aku juga gak nyalahin Ibu" jawabku.
"Anak baik" pujinya kemudian memelukku.
Meski berat tapi aku tetap datang ke sekolah, hari ini bahkan bukan hanya para murid bahkan para guru juga ikut mencibirku. Akan lebih baik jika mereka semua mengabaikanku seperti sebelumnya, aku tak tahu sampai kapan aku bisa bertahan dengan keadaan yang seperti ini.
Lagi, wali kelas memanggilku untuk membahas masalah kemarin. Ia terus memohon agar aku bisa memilih antara keduanya, memohon maaf kepada keluarga Ina atau keluar dari sekolah. lalu aku tak memilih keduanya, membuat wali kelas frustasi dan merasa bersalah karena tak bisa melakukan apapun untuk murid-muridnya.
"Mika, bukannya lebih baik kalau kamu meminta maaf dulu, kamu gak kasihan lihat kondisi Ibu kamu, Ibu prihatin dengan kondisi keluarga kamu, Ibu tahu kehidupan kamu sulit, jadi sebaiknya damai saja dengan keluarga Ina, atau pindah ke sekolah lain mungkin lebih baik daripada di sini" ungkap wali kelasku.
Aku tercengang mendengar perkataan tersebut keluar dari mulut wali kelasku, sebelumnya beliau adalah wanita yang tegas dan ramah namun perbuatannya padaku saat ini terlihat begitu berbeda dari sosok dirinya yang selama ini aku kenal.
"Bu, saya gak akan minta maaf sama mereka, saya sama sekali gak bersalah" ucapku.
"Mika tolong jangan mempersulit Ibu, kamu cuma harus minta maaf, sebentar lagi ujian kenaikan kelas tolong kamu lebih dewasa sedikit" ucapnya.
Aku berusaha menahan perasaanku sekuat mungkin, percuma saja membela diriku sebab di tempat ini tak ada yang akan mendengarkan ucapanku.
"Sekali lagi Ibu peringkatkan, sebaiknya kamu meminta maaf, tidak peduli siapa yang bersalah kamu harus bisa berlapang dada untuk menyadari sebuah kesalahan" ucapnya lagi.
Aku sedikit membungkuk dan berjalan meninggalkan ruang guru namun sebelum itu langkahku terhenti dan kembali berbalik menuju meja wali kelas.
"Saya gak perlu rasa kasihan dari Ibu, terus "dewasa" Itu apa? Gak ada orang yang cukup dewasa di tempat ini," pungkasku sebelum benar-benar meninggalkan ruang guru.
Aku berjalan di lorong dengan langkah berat, aku bahkan menolak untuk menatap ke arah anak-anak lain, telingaku sakit mendengar cemoohan orang-orang di sekitarku. Aku berpapasan dengan Ina yang nampak gugup di hadapanku, aku menatapnya sendu dan berusaha untuk melewatinya. Namun langkahku terhenti aku ingin menanyakan alasannya melakukan hal tersebut padaku, aku ingin dia mengatakan semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, diary
Teen FictionDear, diary Aku, Mikaela Picessa, menulis malam ini dengan penyesalan dan tanya. Dulu, dalam kekelaman jiwa, aku pernah menuliskan keinginan untuk menghapus seorang dari dunia ini. Kini, bertahun-tahun kemudian, orang itu menghilang, seolah lenyap d...