Aku merasa canggung, melihat keduanya nampak begitu dekat. Sandra dan Arlen saling bertatapan, namun ada perasaan aneh di antara keduanya.
"Dari sekian banyak perempuan, kenapa harus sama Mikaela. Jangan-jangan Mika gak tau soal masalah itu?" ucap Sandra sembari menegaskan sesuatu.
Aku hanya menatap bingung, aku sama sekali tak mengerti dengan isi dari percakapan keduanya.
"Mika, mending lo jauhin dia deh" ucap Sandra.
"Kenapa? Kok lo ngomongnya gitu? Arlen kan temen gue" jawabku.
"Lo tau, apa yang dia lakuin di SMP?" tanyanya.
"Hm?" gumamku.
"Ah, jadi lo beneran gak tau ya. Mau gue ceritain sesuatu soal dia?" ucapnya.
Entah mengapa aku merasakan firasat buruk, mungkin akan lebih baik jika aku tak mendengar apapun dari Sandra.
"Gak perlu, lagian gue ada urusan lain sama Arlen" ucapku kemudian menarik Arlen.
Aku berjalan dengan langkah cepat sembari menarik lengan Arlen, kami berhasil menjauh dari Sandra.
"Mika" panggil Arlen dengan nada lemah.
Langkah kami terhenti, Arlen melepas genggamanku dan menghela napas berat.
"Lu kenapa gak denger apa yang Sandra mau bilang?" tanyanya.
"Buat apa? Kenapa gue harus denger dari dia?" jawabku.
"Lu gak penasaran?" tanyanya lagi.
"Gak kok, ayo ah pulang" ucapku.
Kemudian Arlen menarik lenganku, wajahnya nampak murung. Aku tak pernah melihat Arlen yang seperti ini, perlahan jantungku berdebar semakin cepat.
"Waktu SMP, salah satu temen gua hampir meninggal..." ungkapnya.
Jantungku berdebar kencang, aku tak siap mendengar ucapannya. Aku takut, jika orang yang Irene maksud adalah Arlen.
"Arlen..." panggilku, memutus ucapannya.
Ia menatapku dengan tatapan yang tampak sendu, sungguh aku tak akan sanggup melihatnya seperti ini. Aku ragu untuk mendengar apa yang akan dia katakan, aku takut jika perkataan Irene memang benar. Dan aku takut jika Irene akan menyakiti Arlen dengan fakta tersebut.
"Lo gak perlu ceritain semua kesalahan lo ke gue, gue takut gue bakal ngecewain lo suatu saat" ucapku.
"Kenapa? Lu bukan orang kayak gitu" balasnya.
"Manusia bisa berubah kapanpun..." ungkapku, di ikuti senyum pahit.
Tidak apa, meski aku tak mengetahui masa lalunya. Tak apa jika aku sedikit tak mengerti tentang dirinya, karena mungkin hal tersebut akan lebih baik daripada aku mengetahui segalanya tentang dirinya. Jika aku tak mengetahui apapun, maka aku tak akan pernah bisa melukainya dengan kelemahan yang ia miliki.
"Lagian, g-gue bakal berusaha buat percaya sama lo" ucapku.
Arlen menghela napasnya dalam-dalam, ia mengantarku sampai depan rumah. Aku memandangi punggungnya yang tampak murung, ia juga pasti kesulitan. Ternyata rasanya lebih menyesakkan karena aku tak mendengar ceritanya.
Sejak malam perutku terasa tak nyaman, aku tak ingin bangun dari tempat tidur, aku hanya ingin berbaring. Namun di luar sana tante Helena terus memanggilku untuk sarapan.
Seperti biasa, Yian sudah berdiri di depan rumah, menantiku. Selama perjalanan aku terus memikirkan kejadian kemarin, aku tak pernah menyangka bahwa Arlen dan Sandra berasal dari sekolah yang sama. Lalu, Irene juga pasti bersungguh-sungguh dalam membenciku, sampai ia bisa mendapatkan informasi tentang masa lalu Arlen dan yang lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, diary
Teen FictionDear, diary Aku, Mikaela Picessa, menulis malam ini dengan penyesalan dan tanya. Dulu, dalam kekelaman jiwa, aku pernah menuliskan keinginan untuk menghapus seorang dari dunia ini. Kini, bertahun-tahun kemudian, orang itu menghilang, seolah lenyap d...