#Chapter 35 : Dear, diary

3 3 0
                                    

"Bukan tulisanku yang memiliki kekuatan atas terwujudnya suatu kejadian, bukan juga karena harapan sesaat. Hanya saja, kejadian malang itu harus terjadi di kehidupan ini. Aku tak memiliki kekuatan seperti itu untuk menghilangkan nyawa seseorang, atau mengubah masa lalu dan masa depan, hanya saja... semuanya terjadi begitu saja"

***

Rasanya seperti tenggelam, aku tak bisa mencapai dasar ataupun permukaan. Aku terus berusaha untuk berenang, namun aku tak memiliki kemampuan untuk menyelamatkan diriku. Aku berada di dalam air, dan semua kenangan terputar dengan cepat namun aku bisa mengingat segala perasaan itu. Bahagia, sedih, kecewa, marah, aku mengingatnya dengan sangat jelas. Aku ingat bagaimana aku begitu sedih ketika ayahku pergi dari rumah, perlahan kesedihan itu beralih menjadi rasa kecewa kemudian tumbuh menjadi kemarahan, tanpa dasar yang jelas aku menyalahkan Ibuku, karena perasaan itu aku melewatkan banyak hal, aku terlalu larut dalam amarah sehingga aku tak berusaha untuk menggali kebenaran.

Kini, ketika aku menyadari kesalahanku, semuanya sudah berubah, aku tak tahu apa yang harus aku sesali, aku sudah terlalu jauh.

 Aku telah menyadari bahwa Ibu tak berhak untuk menerima sikap burukku. Aku merasa bersalah begitu mengetahui bahwa Ayah tak pergi karena sikap Ibu. Aku baru tahu, bahwa Ayah pergi karena ia mendambakan kebebasan. Aku tak tahu jika aku dan Karel tak lagi dapat meluluhkan hatinya. Aku mati rasa begitu mengetahu bahwa dia memiliki putri lain untuk dilindungi.

Begitu mengetahui bahwa Yian datang dari negeri yang sama dimana Ayahku dan keluarga barunya berbahagia, aku membenci hal itu. Beberapa orang dewasa mengatakan hal-hal yang bijaksana, namun beberapa diantara mereka terkadang mengatakan hal-hal yang bisa melukai kami, anak-anak meraka.

"Anak kami baik-baik saja, dia tidak memiliki masalah apapun. Kami merawatnya dengan baik" atau "Kami yang paling tahu apa yang terbaik untuk anak-anak kami" atau "Anak kecil seperti kamu apa yang dipusingkan? Lelah apa?".

Terkadang aku penasaran, apakah ingatan ketika mereka muda telah sepenuhnya dihapus sehingga mereka bisa berpikir bahwa kami tak memiliki rasa lelah dan tak pernah menderita.

Kemudian, seorang dewasa menjawab pertanyaanku. "Kadang, mereka menyangkal penderitaan yang diderita anak-anak mereka. Karena mereka telah melakukan yang terbaik untuk memberikan kehidupan kepada anak-anaknya, mereka tak tak ingin mendengar keluhan bahwa anak mereka tak baik-baik saja, karena mereka tak ingin mengakui kegagalan itu".

Aku bisa sedikit mengerti, mungkin memang benar tapi apakah harus sampai melukai kami. Meski terkadang mungkin orang tua hanya tak bisa menyampaikan niat mereka dengan baik, sehingga kami saling menyakiti. Aku tahu, semua manusia memiliki kehidupannya masing-masing, dan mereka berhak menentukan apa yang mereka inginkan, tapi bukan berarti keinginan itu bisa menjadi alasan untuk melukai orang lain.

Seperti aku yang tak bisa menerima kenyataan bahwa ayah pergi dan menyalahkan Ibu. Seperti Yian yang memilih untuk meninggalkan keluarganya dan datang menemuiku seorang diri, seperti Irene yang menahan diri dan melakukan kesalahan karena rasa sedihnya, seperti Sophia yang mengabaikan kepergian Ibunya dan mencari dunianya sendiri, seperti Karla yang memilih untuk melupakan keluarganya dan berusaha untuk menerima kehidupan, seperti Arlen yang berusaha menjadi ceria demi mengobati rasa takutnya, seperti Karel yang harus kehilangan nyawa karena ulah orang dewasa yang tak bertanggung jawab. Seperti anak-anak lain, kami menjalani kehidupan kami dengan perasaan dan sudut pandang yang berbeda.

Aku tahu, bahwa selama ini aku telah menahan begitu banyak hal, aku sadar bahwa aku terluka. Tapi aku berusaha mengabaikan rasa sakitku, kupikir aku hanya harus bertahan, namun bertahan juga memiliki cara. Kupikir selama ini aku baik-baik saja, namun ternyata aku salah.

Aku memang telah merasakan perpisahan, berkali-kali seseorang telah pergi dari kehidupanku tapi ternyata kenyataan yang paling buruk adalah bahwa aku telah kehilangan diriku sendiri.

Aku berharap Karel tetap di dunia ini, dan berharap dia selalu di sampingku, namun sebagai gantinya aku justru terus melihat anak perempuan itu. Aku berkali-kali berteriak dan menyudutkannya, memintanya untuk pergi dan berharap bahwa Karel yang tetap sini.

Aku terus memancing anak itu untuk datang setiap kali aku hampir menyerah. Aku mengasihani anak itu, dia terlihat begitu suram dan kesepian. Seolah, ia tak pernah tumbuh. Aku tak pernah menyangka bahwa anak itu adalah diriku, alih-alih Karel, justru diriku sendiri yang terus hadir. Dengan kasar, aku terus berharap bahwa anak perempuan itu menghilang, dan meminta Karel untuk menggantikan kehadirannya. Aku melukai diriku sendiri, aku terus berusaha untuk menghilangkan diri. "Tak apa jika aku menghilang, aku hanya ingin Karel berada disini, dia lebih berhak untuk hidup", seperti itu pikirku.

Mengapa aku begitu mengabaikan diriku, mengapa aku tak bisa lebih mencintai diriku sendiri. Aku tak setangguh itu, namun mengapa aku bersikeras untuk tetap dengan pandangan bahwa aku sanggup menanggung segala hal. Mengapa aku begitu melukai diri sendiri, padahal tak ada yang memaksaku untuk melakukan semua hal itu. Tak ada yang bisa kusalahkan, karena itu aku begitu kehilangan arah.

Namun kemudian Yian datang, membuatku dapat sedikit bernapas dengan lega. Seperti halaman kosong yang selalu menjadi tempat dimana aku dapat berbagi perasaan, dia telah menjadi seseorang yang bisa kuajak berbagi hari-hariku.

"Kamu baik-baik saja?"

Aku lega ketika orang itu mulai mengajukan kalimat kepedulian tersebut. Hatiku terasa hangat, seolah aku tak harus sendirian, aku memiliki seseorang. Mengetahui bahwa ada orang-orang yang mempedulikan hidupku, membuatku ingin lebih menghargai diriku dengan lebih baik. Seandainya, Yian tak pernah kembali mungkinkah aku bisa sampai di hari ini?

Aku belajar, bahwa ternyata kita boleh mengeluh, tak apa untuk menangis atau marah, bahkan jika hanya ingin diam dan mengasingkan diri. Tak apa untuk merasakan emosi-emosi itu, kita tak harus tersenyum jika tak ingin. Orang lain mungkin akan meminta kita untuk melakukan apa yang tak ingin kita lakukan, tapi tak apa untuk menolak.

Mungkin memang menyenangkan jika segala hal tetap berada pada tempatnya, akan lebih menyenangkan jika saja Karel tetap hidup, akan lebih menyenangkan jika keluarga kami tetap utuh, akan lebih menyenangkan jika Irene masih menjadi temanku. Tapi segala kemungkinan tersebut akan semakin panjang, satu harapan menjadi harapan lain, aku akan menjadi lebih serakah dan tak akan mempelajari apapun. Karena itu, aku ingin berhenti, aku ingin berhenti berandai-andai dan menyalahkan diri sendiri ataupun keadaan, semuanya telah terjadi dan tak bisa dikembalikan, aku harus menyadari hal tersebut.

Bersama dengan orang-orang yang kini ada, aku ingin menjalani kehidupan yang lebih baik.

Dear, diaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang