Aku mendapat tugas sebagai pembicara saat presentasi, dalam hatiku aku kembali mengutuk orang-orang yang memberikan tugas berat ini kepadaku. Meski sudah melakukan segala cara agar tetap tenang, aku masih tetap merasa gelisah. Tubuhku gemetar, aku tak bisa membiarkan kaki dan lenganku diam barang sedetik pun. Aku memainkan kuku sampai tak sadar telah melukai salah satunya.
"Heh! Ngapain sih?" tegur Arlen sembari berusaha menghentikan tindakanku.
Arlen memeriksa keadaan kuku tanganku, ia segera menarikku menuju keran air di tepi lapangan bola.
"Kuku lu berdarah emang gak kerasa sakit?" ujarnya sembari mengeringkan tanganku menggunakan jaketnya.
"Arlen, dorong gue yang kenceng dari tangga, cepet!" desakku sembari membuat Arlen mendorongku.
Ia mengernyit merasa tak nyaman dengan sikap gegabahku, ia menarik lenganku sekali dan membuat jarak kami begitu dekat. Ia menatap ke dalam mataku dengan tatapan tajam. Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia sedang marah.
"Bisa tenang dikit gak?" ucapnya mengajukan pertanyaan tersebut dengan nada dingin.
Aku menghela napas berat mulai menyadari sikap gegabahku.
"Kenapa? Lu mau bikin gua kena masalah terus gak naik kelas gara-gara nyelakain lu? Lu segitu bencinya sama gua?" ujarnya.
"Ah, lo juga bakal kena masalah ya kalo gue minta tolong kayak gitu. Maaf, kayaknya apa pun yang gue lakuin ujungnya bakal ngerugiin orang lain" sesalku sembari menundukkan kepala, aku berjalan meninggalkan Arlen dengan penuh rasa bersalah.
"Kenapa sih lu?" teriaknya.
Tak mendapatkan balasan dariku Arlen segera berlari mengejar langkahku, ia menghadang jalanku dengan tubuh tinggi besarnya.
"Gua bisa bantu apa selain dorong dari tangga?" tanyanya sembari menunggu jawabanku.
Aku mengerutkan kening tak yakin dengan ucapannya, Arlen segera mengangguk beberapa kali mencoba meyakinkanku bahwa ia bisa melakukan apapun untuk membantuku.
Kelas di mulai dengan presentasi dari kelompokku. Kami maju dengan penuh ketegangan, belum memulai aku sudah merasa ngeri dengan tatapan intimidasi dari seisi kelas. Tatapan dari anggota kelompokku seolah mengatakan "Kesalahan sekecil apapun, lo mati" itulah yang aku dengar dari tatapan meraka. Mataku dan Yian saling bertemu, dari tatapannya aku bisa merasakan sedikit kekuatan. Ia pasti mengatakan, "Semangat, lo bisa" ucap tatapan Yian.
Aku menghela napas gusar, Irene dan Yian melakukan tugasnya untuk mengoperasikan laptop dan proyektor. Sahwa, beserta Raka membagikan selembaran materi kemudian Julian yang membantuku membawakan hasil presentasi.
Aku mulai mengucapkan isi materi pertama setelah sambutan yang Julian telah sampaikan, tekanannya sangat luar biasa, meski begitu aku berhasil melewati masa krisis. Untuk pertama kalinya aku bisa berbicara dengan lancar menggunakan Bahasa Inggris, walaupun anak-anak lain tak mempercayai apa yang baru saja aku lakukan mereka tetap saja memberikan tepuk tangan untuk mengapresiasi presentasi kelompok kami.
"Bagus" puji Yian sembari berbisik. Aku menahan senyum mendengar pujiannya.
Kelas berakhir, begitu bel istirahat berbunyi aku segera berlari menuju taman belakang menghampiri seorang penyelamat. Dengan napas terengah aku menghadapi Arlen dengan senyum lebar, Arlen sudah siap dengan sekaleng minuman di tangannya. Aku meneguk minuman darinya memuaskan rasa haus yan telah ku tahan sejak 3 jam lalu.
"Lo mau makan apa? Biar gue traktir apapun yang lo mau, eh gak deng gak bisa apapun, gue ga punya banyak uang" ungkapku.
Arlen menatap datar, aku memutar otak agar bisa mengembalikan kegembiraan Arlen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, diary
Teen FictionDear, diary Aku, Mikaela Picessa, menulis malam ini dengan penyesalan dan tanya. Dulu, dalam kekelaman jiwa, aku pernah menuliskan keinginan untuk menghapus seorang dari dunia ini. Kini, bertahun-tahun kemudian, orang itu menghilang, seolah lenyap d...