#Chapter 7 : The problem was me

14 3 0
                                    

Di dunia ini, segala sesuatu tak akan pernah menjadi abadi. Meski ada beberapa kejadian, seperti keajaiban-keajaiban lainnya yang menyatakan bahwa mereka beumur panjang, abadi meski waktu telah berlalu. Semua keajaiban seperti itu pada akhirnya akan berakhir, entah kapan dan bagaimana, namun aku tahu bahwa akan ada alasan bagaimana mereka akan berakhir.

Seperti halnya perasaan manusia, manusia dan perasaan itu sendiri tak akan pernah sama selamanya, akan ada waktu di mana mereka berubah. Cinta dan benci, selalu berubah.

Walaupun aku berusaha untuk tetap bertahan, orang-orang akan selalu berubah, lalu aku hanya akan terluka. Aku tak akan bisa menahan apa yang mereka inginkan, semua orang memiliki kehidupan yang mereka inginkan, aku tak memiliki kemampuan untuk mempertahankan siapapun untuk tetap bersamaku.

Mengharapkan suatu hal... Sepertinya hal itu terlalu jauh dariku, aku bahkan tak memiliki keberanian untuk mengharapkan sebuah keinginan. Aku hanya ingin mejalani hidupku, pelan-pelan... Aku akan berjalan dengan lambat, tak ada hal yang perlu ku kejar.

"Mika!" panggil suara tak asing.

Aku tak bisa menahan senyumanan, mendengar suaranya memanggil namaku, membuat perasaanku gembira.

Yian melangkah dengan kaki panjangnya, dengan cepat dia kini menyamai langkahku. Rasanya aneh, jantungku selalu berdebar ketika Yian berada di sampingku. Apa karena kami bertemu di pagi hari, mungkin aku tak mencerna makananku dengan baik, hal tersebut bisa menyebabkan jantungku berdebar dengan cepat.

"Gimana kabar Ibu lu?" tanyanya.

"Jauh lebih baik. Makasih... semuanya berkat lo" tuturku.

"Enggak... Syukur kalo Ibu lu baik-baik aja. Kalo lu butuh sesuatu, lu harus kasih tau gua" ujarnya.

"Kenapa?"

"Hm? Apanya yang kenapa?" balasnya bingung.

"Kenapa gue harus kasih tau lo? Kita belum kenal selama itu," balasku getir.

"Apa harus kenal berpuluh-puluh tahun baru bisa bantuin orang lain?" lemparnya.

Aku tersentak, ucapan Yian membuatku merasa bersalah, mungkin aku terlihat seperti orang yang berpikiran sempit di matanya.

"Kalo memang iya, terus kenapa lu gak minta bantuan temen-temen lu, kenapa menderita sendirian?" serangnya dengan nada marah.

Aku terguncang... Seperti kalah telak, aku kehabisan kata-kata, ucapannya selalu tepat mengenai sasaran. Sebelumnya aku tak pernah tahu, bahwa Yian adalah orang yang tegas dan terus terang.

"Terus apa? Apa gue harus minta mereka buat bayarin biaya sekolah sama rumah sakit? Atau apa gue harus minta mereka buat biayain kehidupan gue?" geramku.

"Cuma uang yang penting bagi lu? Apa bener-bener gak bisa kalo orang lain ada di sisi lu, lu bisa ceritain masalah lu, lu punya banyak temen, kenapa lu menderita sendirian?" cecarnya.

"Bener! Gue cuma butuh uang. Gue gak butuh siapapun, gue bisa sendirian... gue selalu sendirian" balasku dengan suara yang gemetar.

"Emangnya lu sekuat itu? Lu bener-bener bisa ngelakuin semua sendiri? Lu gak berpikir kalo sikap lu terlalu angkuh?" cibirnya.

"Yian, lo udah kelewatan. Lo pikir lo siapa? Lo gak tau apapun soal gue, cuma karena lo udah nyelamatin nyawa ibu gue, bukan berarti lu berhak kayak gini" tegurku, perasaanku sungguh terluka, Yian bersikap terlalu jauh, aku membenci hal itu.

"Maaf... Gua gak ngomong kayak gini karena merasa lebih tau, gua cuma gak suka lu menderita" sesalnya.

"Gue juga gak suka! Gue juga gak mau menderita, gue juga gak suka sendirian. Tapi gue harus gimana, siapa yang mau bertahan sama gue kalo gue selalu ngasih penderitaan buat mereka. Gue gak mau kehilangan lagi, lo gak tau sekeras apa gue mempertahanin teman-temen gue, lo gak tau sesusah apa ngejaga Ibu supaya tetep ada di sisi gue" ungkapku dengan marah.

Dear, diaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang