#Chapter 9 : Remember me

13 3 0
                                    

Aku bangun dari tidurku, lagi... aku memimpikan anak perempuan itu. Rasanya begitu aneh, dia terlihat nyata meski hanya dalam mimpi. Sesungguhnya aku cemas, aku takut jika aku sebenarnya berada dalam bahaya, aku tak ingin menjadi gila, aku ingin menghentikan segala halusinasi ini. Namun, bagaimana caranya. Jika aku menghentikan itu semua, artinya aku juga melupakan perasaan bersalahku atas kepergian Karel, saudara kembarku.

Benar, aku seperti menyiksa diriku sendiri, tapi hanya itu yang bisa kulakukan untuk menebus rasa bersalahku. Jika saja aku bisa sedikit lebih peka dan perhatian, tak mungkin kejadian itu bisa terjadi, tak mungkin anak itu meninggal dunia. Semuanya adalah salahku...

Waktu itu, tante Helena memintaku untuk berhenti bekerja, namun rasanya sayang jika harus ditinggalkan begitu saja. Aku tak merasa lelah atau kesulitan sama sekali, aku juga senang karena bisa mendapatkan uang.

Saat itu, di hari Karel meninggal pemilik kafe Seasony datang untuk menyampaikan bela sungkawanya, Dia dan Karel cukup dekat, aku tak tahu pasti hal apa yang akhirnya membuat hubungan keduanya begitu baik. Setelah hari pemakaman, aku sadar bahwa aku membutuhkan uang, karena Ibu sakit. Pemilik Kafe datang menemuiku, untuk mengembalikan sepatu bola milik Karel.

"Mika, kalau kamu butuh sesuatu, jangan sungkan untuk bilang sama aku" pesannya.

Aku sempat berdebar, namun aku segera mengumpulkan keberanian dan membuat sebuah permintaan.

"Kalo gitu, kasih aku pekerjaan" jawabku dengan lugas.

"Pekerjaan...?" ulangnya, bingung.

"Aku butuh uang, kasih aku pekerjaan, kak" ujarku lagi.

"Kamu beneran gapapa? Kamu bisa?" tanyanya memastikan.

Dengan begitu, aku mulai bekerja di Seasony, aku sungguh berterima kasih pada orang itu. Jika bukan karena dirinya, kami mungkin akan kesulitan.

Hari minggu yang cerah, aku, ibu dan tante Helena bangun lebih awal untuk membersihkan seisi rumah. Ibu mematung dengan raut wajah kesakitan di depan pintu kamar Karel, aku memadanginya dari sudut ruangan lain, perasaanku sakit melihat Ibu seperti itu.

"Ibu? vacum dimana?" tanyaku berteriak dari ruang tengah.

Ibu menghampiriku dan menunjukkan letak penyedot debu padaku.

"Di sini" ucapnya sembari menunjukkan barang yang kucari.

"Makasih" ucapku, dengan senyuman lalu segera memasuki kamar tidur Karel tanpa ragu.

Aku mengerti bahwa Ibu masih tak sanggup untuk memasuki ruangan milik putranya, tempat di mana anak itu beristirahat dan menghabiskan sebagian penuh waktunya. Aku memandang setiap sudut kamarnya, semuanya tersusun rapi dan bersih, barang miliknya ada begitu banyak. Anak itu, meninggalkan begitu banyak hal di tempat ini. Hanya saja, kini kamar miliknya begitu kosong dan dingin. 

"Maaf... aku bener-bener minta maaf, harusnya aku bisa ngelindungi kamu..." sesalku.

Tante Helena dan Ibu menyiapkan begitu banyak makanan, mereka memintaku untuk memanggil Yian agar kami bisa makan siang bersama. Orang itu selalu datang kapanpun kami memanggilnya, dia memang luar biasa.

"Lo gak punya temen?!" cibirku, sembari membuka pintu untuknya.

"Kenapa? Gua bukan mau ketemu lu" balasnya, sembari melewatiku.

"Siang tante" sapanya dengan sopan dan ceria.

Yian selalu besikap baik kepada Ibu dan tante Helena. Dia anak yang sopan dan mudah disukai, anehnya dia hanya menempel pada keluargaku, padahal ada banyak orang yang mau berteman dengannya, dia selalu berada di sekitarku. Menakutkan jika anak-anak di sekolah mengetahui tentang hal ini, mereka mungkin akan menyulitkanku. Aku tahu, Yian sama sekali tak bersalah, dia berhak memilih. Meski dengan perasaan jujur, aku merasa bersyukur karena mengetahui ada dirinya di sampingku.

Dear, diaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang