Ibu dan aku, kami akhirnya mengunjungi Karel. Mata Ibu berkaca, sesekali aku mendengar helaan napas yang begitu dalam. Aku bisa merasakan kehampaan di hati Ibu, dia menatap ke satu titik dan seolah menahan sesak. Dia pasti bingung karena tak bisa mengingat apapun, tapi aku yakin di dalam dirinya, Ibu masih merasakan anak laki-lakinya.
"Ibu... gapapa kalau Ibu gak bisa ingat apapun" ucapku menenangkan, menyadari bahwa Ibu bersikeras mengembalikan ingatannya.
"Maaf, Mika. Ibu bukan orangtua yang bisa kalian andalkan, Ibu gak bisa melindungi kalian berdua. Gimana bisa seorang Ibu membebani kehidupan kepada anak-anaknya. Mika pasti kesulitan selama ini, Ibu lemah dan hanya menyulitkan kamu" ungkapnya membuat hatiku terenyuh.
Aku menggeleng pelan, begitu kugenggam tangan Ibu yang dingin dan gemetar, ia mulai menangis dalam rasa bersalah.
"Ibu, percaya sama Mika, Mika selalu bersyukur karena Ibu adalah orangtua Mika. Gak masalah kalau Ibu gak bisa ingat apapun soal Mika, ataupun Karel, Mika berharap Ibu bisa ngejalanin kehidupan yang Ibu mau mulai sekarang" ungkapku.
"Bahkan kalau masa lalu Ibu menyakitkan, itu tetap kenangan Ibu. Ibu gak mau melupakan anak-anak Ibu sendiri" tuturnya.
Rasanya memang menyakitkan melihat Ibu melupakan segalanya tentang kami. Namun, aku memahami perasaannya, dia juga merasa kesulitan dan bersalah karena tidak mampu untuk mengingat kehidupannya. Ibu pasti ketakutan dan merasa asing berada di sekitar kami, aku bahkan tak bisa membayangkan sesulit apa kehilangan diri sendiri.
Aku juga merasa bersalah pada Karel, karena aku dan Ibu harus pergi sedikit lebih jauh dari tempat ini. Namun aku berjanji akan terus mengingat Karel dan akan lebih sering mengunjungi tempatnya, aku bahkan tak pernah berhenti mengirim doa. Kini, aku harus melanjutkan kehidupanku. Aku akan melakukan yang terbaik, aku sudah berada di titik ini, karena itu setidaknya aku ingin menjalani hidup dengan lebih baik.
Aku benar-benar pergi dari tempat ini. Meski rasanya masih begitu berat karena harus meninggalkan tempat yang telah penuh dengan kenangan bersama Keluargaku. Juga meninggalkan sekolah, bahkan meninggalkan teman-temanku. Namun, bagaimanapun hidup harus tetap berlanjut.
Pagi hari yang terasa hampa, di tempat yang masih terasa asing bagiku. Semuanya nampak baru untukku, aku bahkan sering lupa bahwa kini semuanya telah berbeda. Tetapi, aku tak boleh melupakan fakta bahwa ada beberapa hal yang menjadi jauh lebih baik. Seperti kondisi Ibu yang membaik dari sebelumnya, kini Ibu mulai merintis usaha barunya, Ibu pandai menjahit pakaian dan kini bekerja bersama dengan tante Helena.
Aku juga mendapatkan sambutan yang baik di sekolah baru, aku bersyukur karena semua orang yang ku kenal di sekolah ini adalah orang yang baik. Mungkin karena sudah cukup lama sejak aku tak bertemu dengan teman-temanku di sekolah lama, beberapa kali aku melihat seseorang yang nampak seperti mereka.
Begitu pula dengan malam ini, aku melihat sosok belakang seorang laki-laki yang nampak seperti Yian. Hal ini membuatku kembali mengingat pertemuan pertama kami di sekitar rumah, momen ini sama seperti pertama kali aku melihat Yian di dekat toserba, di hari hujan di mana dia memberikan payungnya padaku.
"Kayaknya harus nelpon mereka abis ini" ujarku, kemudian melanjutkan perjalananku menuju rumah.
Besoknya, aku kembali ke toserba dan seperti melihat seseorang yang kukenal.
"Masa iya??" gumamku, kecewa.
"Lima puluh dua ribu, mau sekalian kantong belanjanya?"
Aku menunjukkan kantong belanjan milikku pada seorang perempuan yang berkerja paruh waktu di toserba tersebut. Kami sering bertemu dan menjadi lebih dekat, beberapa kali kami makan dan minum bersama di toko ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, diary
Teen FictionDear, diary Aku, Mikaela Picessa, menulis malam ini dengan penyesalan dan tanya. Dulu, dalam kekelaman jiwa, aku pernah menuliskan keinginan untuk menghapus seorang dari dunia ini. Kini, bertahun-tahun kemudian, orang itu menghilang, seolah lenyap d...