Aku terbangun dari mimpi semalam, meski hanya sekedar mimpi namun perasaan yang aku rasakan ketika bangun terasa begitu nyata. Melihat Karel lagi di dalam mimpiku masih terasa menyakitkan, selalu dengan mimpi yang sama. Aku melihat punggungnya yang menjauh dari pandanganku, ia terus berlari, semakin jauh dan semakin jauh hingga aku tak bisa mengejarnya. Penyesalan hari itu masih begitu besar, harusnya aku mencegahnya untuk pergi.
Aku menemui keluargaku di ruang makan, kami saling menyapa dengan senyuman hangat. Sudah hampir satu minggu tante Helena menetap di rumah, aku sangat berterima kasih karena ia bersedia menjaga Ibu selama aku berada di sekolah.
Tante Helena merawat kami dengan sangat baik, ia selalu memastikan aku dan Ibu makan dengan baik, ia juga membiayai biaya sekolahku, jika bukan karena tante Helena entah akan seperti apa kehidupanku dan Ibu. Aku selalu merasa bersalah jika pulang dengan penampilan yang berantakan, entah sesulit apapun hariku, Ketika pulang aku tetap tersenyum, memastikan tak akan ada yang mencemaskanku.
Kondisi Ibu selalu naik turun, ada hari-hari di mana terkadang Ibu akan diam sepanjang hari, terkadang juga Ibu melakukan sesuatu yang tak kami mengerti. Seperti berteriak dan ketakutan tanpa sebab yang jelas, namun tante Helena selalu mengajariku untuk tetap tenang dan sabar. Melihat ketulusannya dalam menjaga Ibu membuatku selalu berterima kasih kepadanya. Tante Helena juga rutin membawa Ibu untuk terapi, harapan kami masih begitu besar agar Ibu bisa kembali pulih.
Yian dan Arlen selalu bergantian mengirim makanan ke rumah, mereka datang dan pergi sesuka hati. Untungnya Ibu dan tante Helena selalu menyambut keduanya dengan senang hati, sebenarnya hari-hariku terasa lebih baik berkat kehadiran Yian dan Arlen.
Akhir pekan ini keluargaku beserta Yian dan Arlen berencana untuk makan malam bersama, siangnya Yian menemaniku berbelanja segala kebutuhan rumah. Kami baru saja keluar dari pusat perbelanjaan kemudian mataku tertuju pada seorang wanita paruh baya yang nampak tak asing, dia adalah Sarah, istri pembunuh itu.
Senyumku sirna begitu melihat wanita tersebut nampak hidup dengan baik bersama putra kecilnya, aku hendak menghampirinya namun Yian menahanku dan mengatakan bahwa aku tak boleh gegabah sebab orang seperti wanita tersebut bisa saja melakukan hal yang jauh lebih buruk. Selama perjalanan pulang suasana hatiku begitu buruk, melihatnya hidup baik-baik saja dengan putranya setelah menyebabkan anak orang lain meninggal sangatlah tak adil.
"Lu gapapa?" tanya Yian.
"Enggak, gue marah banget, gue gak bisa ngelakuin apa-apa karena itu gue marah" ujarku.
Yian menepuk pundakku pelan sembari kami melanjutkan perjalanan pulang, kami sampai dan menyerahkan belanjaan kepada Ibuku. Aku memperhatikan Ibu, tante Helena dan Yian yang tengah memasak di dapur, tak lama kemudian Arlen datang dengan penuh makanan di tangannya.
"Banyak banget, padahal gak usah bawa apa-apa" ucapku merasa tak enak.
"Bukan buat lu juga" ujarnya sembari melewatiku begitu saja.
Aku tertawa menahan kesal akan sikapnya lalu menutup pintu yang baru saja dia lewati. Tante Helena menyapa Arlen dengan ramah, entah sejak kapan Ibu dan tante Helena mulai begitu menyukai Arlen, aku mengerti alasan keduanya bersikap seperti itu. Sejak pertama bertemu Arlen aku juga merasa bahwa sikap dan sifatnya persis seperti Karel. Ia selalu bersikap manis di hadapan orang dewasa, ia ramah dan periang. Sama seperti Karel yang selalu peka dalam setiap kondisi, Arlen juga sama halnya. Keduanya nampak seperti orang yang sama, perasaan seperti itu yang bisa aku dapatkan dari sosoknya yang ceria.
Setelah proses memasak yang panjang, akhirnya kami dapat memulai makan malam, aku tertegun ketika melihat meja makan, makanan yang tersaji semuanya mengingatkanku pada masa lalu. Semuanya makanan kesukaanku, aku tak tahu harus bereaksi seperti apa, rasanya begitu canggung. Meski begitu aku tak mengatakan apapun dan makan dengan hening, semuanya nampak gembira di depan meja makan, namun aku bisa melihat bahwa Ibu hanya berpura-pura tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, diary
Teen FictionDear, diary Aku, Mikaela Picessa, menulis malam ini dengan penyesalan dan tanya. Dulu, dalam kekelaman jiwa, aku pernah menuliskan keinginan untuk menghapus seorang dari dunia ini. Kini, bertahun-tahun kemudian, orang itu menghilang, seolah lenyap d...