Bagi diriku di masa kecil, Ibu adalah sosok yang begitu hangat. Meski banyak hal yang membuatnya kesulitan, Ibu masih selalu menyiapkan makanan untuk keluarga kecil kami. Dalam keluarga, kami selalu mengandalkan Ibu. Selalu Ibu yang menenangkan tangisan dan rasa cemas kami. Sosoknya yang tangguh dan lembut, membuatku merasa tenang setiap kali berada di dekatnya. Aku pikir, aku yang dahulu tak akan bisa bertahan hidup tanpa perlindungan dan perhatian dari dirinya.
Namun, sebenarnya sejak kapan tembok besar ini ada di antara kami.
Aku tersenyum meski dengan mata berkaca, aku lega karena Ibu masih ada di hadapanku, meski ibu dengan wajah pucatnya tak kembali membalas senyumku, aku rasa aku baik-baik saja, Ibu tak perlu membalas senyumanku.
Tapi, sejujurnya, rasa sesak memenuhi dadaku, seperti anak kucing yang tersesat di malam hari, aku hanya berdiri di hadapannya, berharap mata kami akan bertemu dan ia menyadari kehadiranku.
Satu jam berlalu, namun waktuku terasa terhenti. Aku duduk di hadapannya tanpa mampu mengucapkan satu kata pun. Aku ingin menggenggam tangannya dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, aku ingin Ibu melanjutkan hidupnya dengan baik. Tetapi, hatiku terasa berat, seolah tak ada tenaga untuk membuka suara.
Aku kembali teringat tentang masa kecil, ada Karel di sana. Karel memenuhi ingatanku, Ibu, Ayah, mereka semua selalu ada dalam hidupku.
Meski aku dan Karel lahir bersamaan, namun Ibu memperlakukan kami dengan cara yang amat berbeda. Karel pandai dalam segala hal, dia cerdas dan tenang. Tetapi aku tak seperti itu, aku ceroboh dan sensitif. Aku mengakui hal itu, aku memang sedikit emosional.
Melihat karakterku yang kurang baik, Ibu menuntunku untuk menjadi lebih baik, beliau membuatku berusaha lebih keras. Niat baiknya membuatku salah paham, dan membencinya, aku selalu menghindari Ibu dan berlari ke arah Ayahku, ayah adalah satu-satunya orang yang selalu membelaku.
Ketika aku dan Karel berusia 7 tahun, Karel hampir tenggelam di kolam renang yang cukup dalam. Hal tersebut meninggalkan luka untukku, karena Karel mengalami musibah tersebut ketika aku tanpa sengaja membuatnya jatuh ke air. Aku takut bahwa Ibu mungkin akan membenciku, karena itu aku semakin jauh dari Ibu, mengira bahwa Ibu tak akan peduli lagi terhadapku.
Mungkin sebenarnya akulah yang telah membangun dinding di antara kami. Tapi diriku di masa lalu menciptakan sudut pandang bahwa Ibu lah yang membenciku.
Aku baru saja menemui Dokter yang menangani Ibu, beliau menyampaikan bahwa hari ini Ibu di perbolehkan untuk pulang.
"Ayo, bu" ajakku sembari menggenggam tangan Ibu.
"Kemana?" tanyanya dengan suara yang dingin.
Aku sempat tertegun, lalu memasang senyum lembut pada Ibuku.
"Pulang, kita pulang ke rumah" balasku.
Ibu menghempas lenganku, dan bersikap dingin.
"Kenapa kamu bawa Ibu ke rumah sakit?" ujarnya dengan dingin, nampak seperti membenci perbuatanku.
"Apa?" gumamku, tersentak.
Mataku membelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja ku dengar. Siapa sangka Ibu akan terang-terangan bersikap acuh padaku.
Ketika aku masih belum selesai mengatur pikiranku, Yian datang dan memecah keheningan.
"Siang, tante" salamnya.
Yian bisa memahami sikap acuh Ibu. Dia begitu perhatian meski kami tak bisa memperlakukannya dengan baik.
"Kenapa lo dateng lagi? Bukan harusnya lo udah di jalan sama yang lain?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, diary
Teen FictionDear, diary Aku, Mikaela Picessa, menulis malam ini dengan penyesalan dan tanya. Dulu, dalam kekelaman jiwa, aku pernah menuliskan keinginan untuk menghapus seorang dari dunia ini. Kini, bertahun-tahun kemudian, orang itu menghilang, seolah lenyap d...