#Chapter 3 : Farewell in tears

19 4 0
                                    

Aku tidak yakin, namun ketika kecil aku pernah mendengar bahwa jika kita mengingat seseorang sebelum tidur, maka orang itu akan hadir dalam mimpi kita. Aku berkali-kali mengharapkan hal itu saat kecil, tapi semuanya terasa seperti omong kosong.

Kemudian aku mulai bertanya-tanya pada diriku, apakah bahkan dalam mimpi pun aku tak akan bisa merasa bahagia.

Hari yang baru di bulan Mei, sekolah mengumumkan bahwa setelah ujian berakhir mereka akan mengadakan karya wisata selama 3 hari 2 malam ke Bali.

Jantungku berdebar, sama seperti yang lainnya. Aku merasa senang, namun aku tak antusias merayakan hal tersebut. Aku mungkin tak akan memiliki kesempatan untuk mengikuti liburan tersebut bersama teman-temanku.

"Akhirnya yang di tunggu-tunggu! Gue gak sabar buat bikin banyak kenangan sama kalian!" seru Sophia dengan bersemangat.

Aku melempar senyum pahit, tak ingin merusak suasana saat ini, aku bungkam mengenai keikutsertaanku dalam karya wisata ini.

Mungkin karena gangguan pencernaan, perutku terasa perih. Aku kehilangan semangatku, diriku di liputi perasaan tak nyaman.

"Lo gapapa?" tanya Irene mencemaskan kondisiku.

"Perut lo sakit lagi?" sambung Sophia dengan raut wajah cemas.

"Iya, tapi gapapa"

"Ada apa, Mika?" tegur Ibu Kamila, wali kelasku.

"Perut Mika sakit, bu" sahut Irene dengan sopan.

"Loh? Kenapa tidak langsung di obati? Irene tolong temani Mika menuju UKS"

"Gak, bu. Gapapa, saya di sini aja, nanggung sebentar lagi bel" sangkalku.

Ibu Kamila tak menyerah, beliau meminta Irene untuk tetap membawaku menuju UKS. Teman-temanku terlihat cemas, padahal kondisiku tak begitu buruk. Irene menemaniku menuju UKS, aku tahu dia mencemaskan kondisiku, tetapi aku bisa melihat dengan jelas bahwa hanya tubuhnya yang berada di tempat ini, jiwanya masih tertinggal di kelas.

"Gue gapapa, lo ke kelas aja, sebentar lagi pelajaran sejarah, kan?"

"Iya... tapi lo gapapa sendirian di sini?"

"Gapapa, gue tidur aja sebentar, makasih..."

"Maaf, nanti gue jemput lo lagi, ya?"

Aku mengangguk dengan senyum lembut, membiarkan Irene kembali ke kelas dengan tenang. Setelah dokter merawatku, aku mencoba untuk membuat diriku tertidur. 

Dalam tidurku, aku merasakan ketakutan yang begitu besar, perasaan ngeri dan tak nyaman. Semuanya terlihat gelap, hatiku sakit. Aku terbangun dengan keringat dingin, jantungku berdebar kencang, rasanya begitu sesak.

Aku mendudukan tubuhku agar bisa mengambil napas. Aku hampir menangis tapi kutahan, aku menguatkan diriku mengatakan bahwa apa yang terjadi hanyalah sebuah mimpi.

"Tapi bukan mimpi..." gumamku, air mataku sudah di ujung, menyebabkan pengihatku buram dan kabur.

Mimpi ini sudah hadir sejak 2 bulan lalu, aku terus memimpikan hal yang sama. Hal itu membutku enggan untuk tidur,  karena setiap kali aku mencoba untuk terlelap, mimpi buruk itu terus terulang, menerorku dan membuatku merasa tercekik.

Aku bangkit dan kembali ke kelas untuk melanjutkan pelajaran. Berada di sekitar teman-temanku, aku bisa sedikit merasa lebih tenang, rasa takutku sedikit berkurang dan aku bisa mengabaikan mimpi buruk itu.

Aku berdiri di dalam gerbong kereta, takjubnya di dalam keramaian aku masih bisa menemukan orang itu. Aku sempat berpikir untuk menghampirinya, namun aku segera menyangkal pikiranku dan mengabaikan laki-laki tersebut.

Aku melihat seorang ibu hamil baru memasuki kereta yang hampir berangkat. Buruknya, tak seorangpun ada  yang bersedia untuk memberikan kursi mereka kepada wanita tersebut. Aku segera menghampiri Yian yang hanya berjarak beberapa langkah dari tempatku, aku mulai menyapanya.

Dear, diaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang