Pagi ini Yian kembali berdiri di depan rumah, kami saling menatap dengan wajah sendu. Aku berjalan ke arahnya dan menatapnya murung. Yian hanya terdiam dengan perasaan menyesal. Pagi itu kami tak pergi ke sekolah melainkan pergi ke tempat yang jauh dari sekolah, aku dan Yian pergi ke pantai yang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggal kami. Kami berjalan di pinggir pantai, angin pantai pagi itu cukup dingin, kami berhenti dan saling berhadapan.
"Kenapa gak bilang kalo ada kejadian kayak gini? Bukannya gua udah bilang, kalo ada apa-apa kasih tau gua?" tegurnya.
"Semuanya salah gue, tapi gue gak tau bakal jadi seburuk ini. Kayaknya, kita gak bisa sedeket ini lagi. Meskipun gue berterima kasih atas semua yang udah lu lakuin buat gue dan keluarga gue. Gue harap lo ngerti," sesalku.
Kami saling menatap satu sama lain, mata Yian berkaca seolah memintaku untuk tak melakukan hal itu. Namun aku harus berpura-pura tegas meski hal itu membuat hatiku sakit.
"Mika, tolong jangan kayak gini" pintanya.
Aku menatapnya dengan dingin dan berbalik melangkah meninggalkannya. Aku terpaksa harus melakukan ini demi hubunganku dengan Irene dan Sophia, meski sangat menyakitkan aku pasti bisa melupakannya. Kini aku berjalan lebih jauh darinya dan aku harap Yian juga akan melakukan hal yang sama sehingga aku tak lagi bisa berlari ke arahnya.
Aku berjalan kemanapun langkah kaki membawaku pergi, kini aku tak tahu pasti di mana aku berada, mungkin sudah lebih jauh dari rumah. Aku berdiri di depan toko buku yang tampak antik, di dalam ada sepasang suami istri yang sudah lanjut usia duduk sambil berpegangan tangan menatap keluar jalanan. Mata kami bertemu lalu aku memutuskan untuk masuk ke dalam toko. Aku menyapa keduanya dengan sopan kemudian mereka membalasnya dengan senyuman yang tampak ramah. Namun setelah itu Sang nenek menatapku dengan tatapan mencurigai, ia tersenyum tipis dan merangkulku dengan hangat.
"Kamu kabur dari sekolah?" tanyanya berbisik. Aku menatapnya terkejut dan memberikan senyum canggung.
"Kalau begitu bukan datang karena ingin membeli buku?" tanya sang kakek.
"Gapapa, lihat-lihat saja dulu, meski mungkin tidak ada buku yang bisa menarik perhatian anak muda sekarang" ucap sang nenek membiarkanku menjelajahi toko buku yang cukup luas.
Aku segera membungkuk dan berjalan melihat-lihat seisi toko. Aku takjub melihat toko yang masih terlihat penuh namun tertata cukup rapi. Menurutku tempat ini cukup nyaman dan tenang di tambah suasana klasik dan tua sehingga menambah perasaan melankolis. Beberapa saat kemudian sang nenek memanggilku dari kejauhan dengan gerakan tangannya. Meski tak tahu alasannya, aku tetap berjalan menghampirinya. Beliau membawaku ke sebuah ruangan di lantai 2 yang terlihat seperti tempat beristirahat, dari sini kami bisa melihat pemandangan laut. Ruangan yang penuh dengan rak buku juga masih dalam konsep klasik.
"Ada apa? Seharusnya kamu ada di sekolah saat ini" tanyanya.
Aku terkejut mendengar pertanyaannya, ia nampak sangat pengertian dan baik hati padahal ini kali pertama kami bertemu.
"Panggil saya Nana, cucu-cucu saya semuanya panggil seperti itu" ucapnya.
"Nana?" tanyaku, diikuti senyum.
"Siapa nama anak baik ini?" tanyanya dengan lembut.
"Saya Mikaela" jawabku.
"Mikaela, cantik sekali namanya, siapa yang beri?"
"Ayah" ucapku dengan perasaan berat, ini pertama kalinya lagi aku menyebut kata ayah sembari mengingat sosok ayah yang sudah sangat lama tak pernah aku temui.
"Cucu Nana juga seusia Mikaela, jadi mungkin Nana bisa mengerti perasaan Mikaela kalau Mikaela ingin cerita" ucapnya.
Sebelumnya aku sedikit tertawa dengan mata berkaca, mendengar perkataan Nana yang amat tulus membuatku bisa mempercayainya. Tanpa kusadari aku menceritakan semua kisah hidupku pada Nana, seseorang yang baru kutemui saat itu. Dari kepergian Ayah hingga meninggalnya Karel, keadaan Ibu bahkan masalah di sekolah saat ini, semuanya kuceritakan pada Nana, Nana mendengarkan dengan seksama tanpa memotong sedikitpun ucapanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, diary
Teen FictionDear, diary Aku, Mikaela Picessa, menulis malam ini dengan penyesalan dan tanya. Dulu, dalam kekelaman jiwa, aku pernah menuliskan keinginan untuk menghapus seorang dari dunia ini. Kini, bertahun-tahun kemudian, orang itu menghilang, seolah lenyap d...