#Chapter 25 : Little Little

7 3 0
                                    

Entah apa yang membawanya datang kepadaku, seusai pelajar seni, Sophia menghampiriku yang tengah duduk sendirian di dekat jendela.

"Lo gapapa?" tanyanya gugup.

Aku mengangguk pelan dan tersenyum pahit.

"G-gue gak bermaksud nyalahin lo, gue gak tau kalo anak-anak lain bakal bertindak sampai sejauh itu" ucapnya.

Aku menatapnya hening, membuatnya merasa canggung seorang diri.

"M...maaf! Gue bener-bener minta maaf. Gue gak tau harus gimana, gue juga malu harus cari pembelaan terlebih dahulu sebelum minta maaf, tapi gue tulus minta maaf sama lo" ucapnya lagi.

"Udahlah, gausah di bahas" jawabku acuh.

"Eh! Lo duluan ya yang punya salah, harusnya lo juga sadar diri dong, jangan mentang-mentang gue salah kemarin terus lo jadi merasa berhak marah balik sama gue" ujarnya.

"Tapi gue emang kecewa sama lo, gimana dong?" ungkapku.

"Sebenernya kenapa sih lo jadi kayak gini? Semenjak Karel meninggal lo jadi berubah tau gak! Lo bener-bener aneh, egois. Lo pikir hidup lo doang yang susah? Semua orang juga susah Mika, jangan seolah-olah lo orang paling menderita. Lo pikir dunia ini cuma tentang lo kan? Tadinya gue dateng berharap lo mau nyeritain apa yang terjadi sejauh ini, tapi liat sikap lo kayak gini gue rasa lo gak akan bisa berubah lagi, gue jauh lebih kecewa sama lo" geramnya kemudian pergi meninggalkanku di ruangan yang kosong sendirian.

Aku menghela napas berat, rasanya sangat menyakitkan mendengar Sophia mengatakan hal tersebut. Namun kata-katanya benar, mungkin aku telah bertindak seolah akulah yang paling menderita. Apakah tadi adalah kesempatanku untuk menjelaskan semuanya pada Sophia, jika begitu maka apakah aku telah melewatkan kesempatan tersebut.

Rumor bukanlah hal yang wajar. Rumor sesepele apapun, bisa menyebabkan bencana bagi orang yang terlibat. Kehidupan seseorang bisa hancur hanya karena sebuah rumor. Mereka selalu memandangku dengan rendah, mereka melakukan apapun untuk menghakimi ku. Yang bisa aku lakukan hanyalah berpura-pura tuli. Aku tak ingin mendengar apapun yang akan melukai perasaan ku. Aku berharap aku tak mendengar apapun dari mereka.

Aku mengambil peralatan lukisku dan berjalan keluar kelas, tepat di depan pintu kelas, Arlen berdiri di hadapanku. Ia menujukkan rasa cemasnya, tampak dari sorot matanya yang seolah mengasihaniku.

Aku menyeringai menanggapi keadaan saat ini, selalu saja di setiap keadaan seperti ini Arlen atau Yian muncul di hadapanku. Mereka selalu mendengar dan melihat diriku di permalukan, pasti di mata keduanya aku nampak sangat menyedihkan.

"Minggir" ucapku pelan.

Arlen kemudian menarik lenganku, aku segera menepis tangannya dengan kasar.

"Jangan di masukin ke hati, gua yakin dia ngomong kayak gitu karena dia gak tau apa yang sebenernya terjadi, yang penting gu..." ucapnya terpotong.

"Cukup Len, gue gak mau denger apapun lagi" ucapku.

"Maaf, gua cuma khawatir sama lu" ucapnya.

"Jangan, buat apa lo khawatirin gue?" ujarku di ikuti tawa yang terdengar pahit.

"Hah ?" gumamnya tak mengerti.

"Hah... lo juga pasti mikir gue ini menyedihkan kan, lo tau gue selalu benci setiap lo natap gue dengan tatapan itu, gue gak perlu rasa kasihan dari siapapun tapi kenapa kalian selalu bikin gue ngerasa semakin buruk" ungkapku.

"Lu ngomong apa sih? Gua gak pernah mikir kayak gitu" ujarnya.

"Lo mana ngerti gimana perasaan gue, hidup lo terlalu sempurna buat tau apa yang gue rasain, jadi gue gak perlu rasa kasihan atau khawatir dari lo, gue juga gak butuh lo sama sekali, jadi jangan pernah muncul la..." ujarku penuh emosi.

Dear, diaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang