Aku berdiri di hadapannya, dan sekujur tubuhku merinding. Tatapannya sangat dingin, aku menggigil setiap kali masuk kedalamnya.
"Lo masih berani ngajak gue ngomong?" ujarnya.
"Kenapa lo pura-pura jadi gue waktu orang-orang itu nemuin lo?" tanyaku mengacu pada kejadian di saat Irene menemui orang-orang penagih hutang.
Irene nampak terkejut, aku yakin dia tak menyangka aku akan mengetahui hal tersebut.
"M...maksud lo?" ucapnya terbata.
"Gak usah bohong, gue tau semua yang udah lo lakuin sampe sekarang" ucapku.
"Oh, lo udah tau semuanya. Sekarang gue gak perlu lagi pura-pura di depan lo, kan?" ujarnya dengan berani.
"Lo mau apa dengan cari semua informasi tentang gue?" tanyaku.
"Karena gue benci sama lo" balasnya.
"Lo bahkan pergi nemuin orang itu di penjara? Sebenernya apa tujuan lo?" tanyaku.
"Jadi lo juga tau soal itu" gumamnya.
"Kenapa? Kita temenan, jadi kenapa lo ngelakuin semua ini?" tanyaku, dengan suara lirih.
"Temen? Gue gak pernah nganggap lo temen" ucapnya.
"Bohong, selama ini kita udah main bareng bahkan lo nemenin gue waktu Karel meninggal" ucapku.
"Lo mau sampe kapan pura-pura jadi orang baik? lo bahkan gak ngebiarin gue deket sama Yian, sebaliknya lo malah deketin dia. Lo udah ngambil semua yang gue punya, terus sekarang lo ngerasa gak adil karena semua orang ninggalin lo, lo ngerasa kecewa karena gue ngelakuin ini ke lo. Di deket lo gue selalu ngerasa jadi orang jahat, jadi apa salahnya kalo gue beneran jahat sama lo?" ungkapnya.
Aku kehilangan kata-kata, aku sadar aku pernah ragu karena perasaanku pada Yian. Namun aku sama sekali tak bisa memahami arti ucapannya yang lain, aku tak tahu apa yang telah ku perbuat sehingga membuatnya begitu marah padaku.
"Jadi karena Yian?" tanyaku dengan hati-hati.
"Gak! Jauh sebelum Yian dateng, gue udah benci sama lo" ungkapnya lagi.
Aku berharap agar Irene segera menghentikan perbuatannya, jika saja dia mengatakan hal lain yang lebih menyakitkan maka aku tak yakin bisa baik-baik saja. Hubungan kami sudah pasti tidak bisa kembali lagi seperti dulu.
"Sebenernya gue seneng tau hidup lo bener-bener berantakan, harusnya lo jangan marah sama gue. Salahin Ibu lo yang udah bikin hidup lo jadi hancur, bisa-bisanya cerai terus nikah sama laki-laki yang akhirnya ngebunuh saudara kembar lo. Gue rasa semua yang terjadi sama lo saat ini karena karma dari perbuatan Ibu lo!" cemoohnya dengan kasar dan tak berperasaan.
Tanpa sadar aku menampar pipi Irene, mendengar ucapannya membuatku sungguh marah. Harusnya dia berhenti sebelum sampai sejauh ini dengan begitu aku tak mungkin melukainya. Ia menyeringai menanggapi perbuatanku, ia mendorongku dengan kekuatan penuh membuatku tersungkur ke lantai. Namun aku segera bangkit dan menghadapinya dengan tatapan menyesal.
"Irene! Mika! Berhenti..." teriak guru olahraga dari sudut lain.
Tanpa sebab yang jelas Irene menarik lenganku dan menjatuhkan dirinya ke lantai, ia merintih kesakitan sembari memegangi pipi kanannya.
"Apa lagi ini Mika?!" geram guru olahraga.
Ia mendorong tubuhku dan memeriksa keadaan Irene yang masih duduk di lantai, anak-anak dari kelas lain mulai berdatangan menyaksikan apa yang tengah terjadi. Mereka menatapku dengan tajam, seolah aku telah melakukan sesuatu yang buruk. Jadi ini permainan Irene, dia bertindak lemah agar orang lain berpikir bahwa aku telah menyakitinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, diary
Teen FictionDear, diary Aku, Mikaela Picessa, menulis malam ini dengan penyesalan dan tanya. Dulu, dalam kekelaman jiwa, aku pernah menuliskan keinginan untuk menghapus seorang dari dunia ini. Kini, bertahun-tahun kemudian, orang itu menghilang, seolah lenyap d...