Karena aku dan Irene telah berbaikan, kini atmosfer di ruang kelas menjadi jauh lebih hangat. Kami berteman dengan baik, kami mampu memahami perasaan satu sama lain. Karena itu, aku pikir tak seharusnya aku tersinggung dengan perlakuan Irene kepadaku kemarin, karena Irene adalah Irene, sahabatku. Irene pergi ke perpustakan untuk mempelajari hal-hal yang bahkan aku tak mengerti, kami berbeda, anak itu sangat rajin dan cerdas. Aku dan Sophia, kami merasa baik-baik saja berdiam diri di ruang kelas, tempat ini ramai dan menyenangkan.
"Irene beneran gak makan siang?" tanya Sophia cemas.
"Kenapa? dia masih di perpustakaan?" tanyaku.
"Lo mau bawain makanan ke perpustakaan?"
"Kenapa cuma gue? Ayo berdua" keluhku.
"Lo tau, kepala gue sakit kalo masuk ke perpustakaan, liat orang-orang belajar.... gak, gak mau" gerutunya sembari menggelengkan kepala.
"Jangan berlebihan, ayo!"
"Gak mau! gue juga gak mau keluar kelas, ada orang aneh yang ngeliatin gue terus" gerundelnya.
Aku berdecak, menyeringai menanggapi kepercaya diriannya yang berlebihan.
"Beneran! lo liat aja di depan, dia masih disana daritadi. Kayaknya dari kelas sebelah" keluhnya dengan wajah cemas.
"Beneran?" responku, ikut cemas.
Aku melihat keluar kelas, memastikan bahwa apa yang Sophia katakan adalah benar. Namun, aku tak bisa melihat siapapun yang mencurigakan.
"Mungkin dia tertarik aja sama lo, lo kan cantik"
"Makanya, gue gak tau kalo jadi cantik bisa sesusah ini" racaunya.
"Cih" decakku, sembari menggelengkan kepala dan menatapnya sinis.
Sepulang sekolah, kami memergoki orang yang Sophia sebutkan. Laki-laki itu memang mengikuti Sophia, dia tak nampak mengancam namun menjengkelkan melihatnya mengikuti kami dan tak mengatakan apapun.
Aku membalik badan, dan membuatnya menghentikan langkahnya.
"Lo ngikutin kita?" tegurku.
"Apa?" ucapnya, terkejut.
"Lo ngikutin temen gue dari kemarin, lo stalker?!" tuduh Irene.
"Enggak... bukan gitu" kelaknya.
"Terus apa? kenapa lo ngikutin gue? ada yang mau lo omongin?" tegur Sophia.
"Lu gak inget gua?" tanyanya kepada Sophia.
"Lo siapa?"
"Lo kenal dia?" tanyaku.
Sophia menatap laki-laki itu penuh curiga, namun nampak berpikir keras mencoba mengingat orang di hadapannya.
"Gua Leo, kita satu SD" ungkapnya.
"Leo?"
"Mungkin lu gak inget wajah gua, tapi gua inget lu. Sophia..." ujarnya.
Aku dan Irene saling menatap, situasi saat ini cukup menarik untuk dilihat, jadi mereka adalah teman lama. Di situasi yang romantis seperti itu, Irene berteriak membuat kami semua terkejut.
"Kenapa? kenapa?" tanyaku cemas.
"Kupu-kupu!" jeritnya, sembari mengibaskan bukunya.
"Kupu-kupu?" tanya Sophia bingung.
"Di atas Mika!"
"Lo kenapa? gak ada apa-apa," ujar Sophia.
Irene kembali menjerit ketakutan, melihat kupu-kupu yang berterbangan di sekitarku. Aneh, harusnya dia tak bisa melihat hal itu, hanya aku yang bisa melihatnya, karena mereka berasal dari imaginasiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, diary
Teen FictionDear, diary Aku, Mikaela Picessa, menulis malam ini dengan penyesalan dan tanya. Dulu, dalam kekelaman jiwa, aku pernah menuliskan keinginan untuk menghapus seorang dari dunia ini. Kini, bertahun-tahun kemudian, orang itu menghilang, seolah lenyap d...