Sabtu siang aku dan Yian, kami mengunjungi café Seasony, beberapa hari terakhir perasaanku kurang baik. Aku masih belum bisa memahami alasan sikap dingin Irene padaku, dia seperti sengaja menghindariku.
"Mikirin apa?" tanya Yian yang duduk di hadapanku.
"Apa gara-gara Yian?" batinku sembari menatap Yian.
"Kenapa?" tanyanya lagi. Aku menghela napas gusar, kesal karena Irene tak mengatakan apapun dan aku juga tak berani untuk menanyakan apapun padanya.
"Yian" panggilku.
Aku sempat berniat untuk bertanya pada Yian tentang bagaimana perasaannya terhadap Irene, barangkali dia juga menyukai Irene. Tapi kemudian aku mengurungkan niatku dan kembali terdiam. "Gak jadi," tandasku.
Yian menatapku dengan tatapan cemas namun seperti biasanya dia tak pernah langsung bertanya tentang apa yang kupikirkan. Ponsel Yian berdering, ia memeriksa ponselnya, tanpa sengaja aku melihat nama dari orang yang menelpon Yian, aku mendapati bahwa Irene adalah orang yang menghubunginya.
"Kenapa gak diangkat?" tanyaku.
Setelah lama terdiam akhirnya Yian mengangkat telpon dari Irene, dengan wajah panik dia segera bangun dari kursinya membuatku penasaran dengan apa yang baru saja dia dengar.
"Mika, lu pulang duluan ya" ucapnya tergesa.
"Kenapa?" tanyaku bingung.
"Nanti gua telpon" ucapnya lalu kemudian segera berlari keluar dari café meninggalkanku sendirian.
Tubuhku terpaku, tanpa perlu mendengar jawabannya kini aku tahu jelas bahwa Yian juga memiliki perasaan yang sama dengan Irene. Aku tak mengerti mengapa dadaku terasa sesak, aku tak ingin bicara ataupun bergerak, rasanya sangat aneh.
"Mika" panggil suara tak asing.
Aku menoleh dan mendapati Arlen sudah berdiri di belakangku.
"Ngapain? Gue duduk ya?" tanyanya sembari meminta persetujuanku. Aku mengangguk pelan mempersilahkannya untuk duduk.
Arlen menatap keluar jendela, ia sadar bahwa di mejaku ada 2 gelas minuman yang artinya aku tak datang sendirian sebelumnya.
"Haha... kenapa sih? Abis di tinggalin sama cowo yang lu suka?" ujarnya.
Aku menatapnya tajam, tersinggung dengan apa yang baru saja dia katakan.
"K-kenapa?" tanyanya terbata.
"Kok lo ada di mana-mana sih?" ujarku.
Dia hanya tersenyum menanggapi ucapanku.
"Oiya, ibu sama tante gue suka roti dari toko lo, thanks ya" ucapku.
"Tapi lain kali harus bayar" ledeknya.
"Haha... iya, lagian juga gue memang mau bayar kemarin" balasku.
"Lu..., baik-baik aja?" tanyanya, tiba-tiba.
"Kenapa emang?" tanyaku balik.
"Cuma nanya" ujarnya.
"Mika? Arlen?" panggil Elthan.
"Kak El? kenal Arlen?" tanyaku balik.
"Ya, kenal banget" jawabnya.
"Wah," seruku, merasa takjub.
Arlen hanya terkekeh, aku menatapnya heran.
"Yaudah lanjut, aku ke belakang dulu" ucap Elthan sebelum meninggalkan meja kami.
"Gantengan mana? Gue atau dia?" tanya Arlen tiba-tiba.
"Maksud lo? Jelas kak Elthan lah" jawabku.
"Cih" decaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, diary
Teen FictionDear, diary Aku, Mikaela Picessa, menulis malam ini dengan penyesalan dan tanya. Dulu, dalam kekelaman jiwa, aku pernah menuliskan keinginan untuk menghapus seorang dari dunia ini. Kini, bertahun-tahun kemudian, orang itu menghilang, seolah lenyap d...