#Chapter 32 : By My Side

3 3 0
                                    

Setelah menyakiti Arlen dengan kata-kata tersebut, aku merasa begitu buruk. Aku tak menyangka bahwa aku harus melakukan hal ini untuk membuatnya menjauhiku. Hujan turun dengan deras begitu aku keluar dari sekolah, dari sisi lain Yian datang.

"Lu berantem sama Arlen?" tanyanya.

"Sejak kapan lo peduli soal dia?" ujarku.

"Jangan kayak gini, kita pasti bisa buktiin kalo lu gak salah" ucap Yian.

Aku menghela napas gusar, kemudian berjalan menerjang hujan meninggalkan Yian.

"Mika, ujan!" ujarny, mengejarku.

Yian menarik tasku agar aku tetap berada di bawah payung yang ia genggam. Lalu, aku melepas tasku dan melangkah menjauh dari dirinya.

"Mika!" panggilnya, sembari berteriak.

Aku berjalan di bawah guyuran hujan, semakin jauh, langkahku semakin melambat. Aku menghentikan langkahku dan terjongkok sambil memeluk erat kedua lututku. Wajahku bersembunyi diantara dua lutut, aku tak lagi mampu menahan air mataku. Aku begitu marah pada diriku sendiri, aku benci karena telah mengatakan hal seperti itu pada Arlen, perbuatanku pasti sangat melukainya.

Aku bisa mendengar langkah yang semakin mendekat ke arahku, rintikan hujan tak lagi menyerangku. Aku mengangkat kepalaku, Yian memayungiku tanpa mengatakan apapun. Melihatnya membuatku semakin ingin menangis. Yian berjongkok di hadapanku, mata kami saling bertemu. Yian menepuk kepalaku lembut, ia melemparkan senyuman padaku, seakan memberitahuku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia mengulurkan tangannya, dan berdiri bersamaku. Ia menggandengku sampai kami tiba di taman. Yian menungguku tenang sebelum akhirnya dia memintaku untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.

"Kalo lu gak bilang apa-apa, gua gak akan tau, kan? Emangnya gak bisa lu kasih tau gua apa masalahnya?" tanyanya.

"Yian, gue ngerasa gue bukan gue, gue ngelakuin semua hal yang gak seharusnya gue lakuin. Gue bahkan berharap seseorang meninggal, gue juga ngelukai orang lain dengan tangan gue sendiri, gue bahkan ngucapin hal itu ke Arlen. Gue gak tau harus gimana, gue bingung sama diri gue sendiri, gue bingung sama semua yang terjadi" ujarku dengan histeris

"Gapapa, Mika" ucapnya, sembari menggenggam tanganku.

Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri namun aku tak bisa merasa lebih tenang. Aku merasa seolah hilang arah, aku juga merasa telah kehilangan diriku sendiri. Rasanya aku seperti hidup tanpa jiwa, aku hanya melakukan semua yang harus aku lakukan, aku bahkan tak pernah memiliki waktu untuk merasakan apa yang harusnya aku rasakan. Aku pikir selama ini aku baik-baik saja, ku pikir tak akan menjadi masalah jika aku tak menunjukkan perasaanku. Ku pikir aku akan baik-baik saja jika aku harus menahannya, ku pikir aku baik-baik saja jika hanya seperti itu.

"Lu mau nangis? Lu mau gua nutupin lu?" tanyanya.

Aku menundukkan kepalaku dan mulai menangis lagi, aku mengeluarkan semua perasaanku. Yian menutupiku dengan payungnya, sehingga orang lain tak bisa melihatku. Rasanya aku tak bisa berhenti menangis, hatiku terasa begitu sakit. Waktu terus berlalu, kupikir aku harus segera berhenti.

"Gapapa?" tanya Yian lagi, begitu aku selesai menangis.

"Ekhm... Iya" jawabku.

"Lu mau minum?" tanyanya.

Aku menggeleng pelan, "Gak usah" jawabku.

"Jadi kenapa?" tanya Yian.

"Gue udah nyakitin Arlen" ucapku.

"Kenapa?"

"Arlen, gue udah ngomong sesuatu yang buruk ke dia. Gue rasa sekarang Arlen pasti kecewa banget" ucapku.

Dear, diaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang