Tanpa sengaja aku melihat ke bawah dan melihat Yian tengah berdiri di depan rumah. Aku menatapnya beberapa saat sampai akhirnya mata kami bertemu, aku melambaikan tanganku menyapanya dengan senyum. Kebetulan saat hendak turun, aku melihat Ibu yang baru pulang dari toko jahit segera mengajak Yian untuk masuk ke dalam rumah. Tanpa harus turun menjemputnya Yian sudah dengan sendirinya naik ke atas menemuiku di balkon.
"Lagi apa?" tanyanya yang baru tiba.
"Nyari angin aja" jawabku.
Yian melihat buku bahasa Inggris yang berantakan di atas meja. Ia segera menghampiri meja dan memeriksa catatan ku.
"Lu belum selesai?" tanyanya.
"Belum, gak ngerti" jawabku jujur.
"Lu gak bisa bahasa Inggris?!" tanyanya tanpa ragu.
Aku menanggapi pertanyaan nya dengan senyum pahit, ia tampak begitu terkejut mengetahui aku tak pandai dalam bahasa Inggris.
"Mau gua bantu dikit?" tawarnya dengan ramah.
Aku segera mengangguk dengan semangat, "mau banget mau!" jawabku antuasias. Tentu saja dengan senang hati. Yian tersenyum dan mulai membantuku menyelesaikan tugas bahasa Inggris. Tak sampai 30 menit aku telah berhasil menyelesaikan essay dengan mudah berkat bantuan Yian.
"Yian, beruntung ya lo pernah tinggal di Amerika" pujiku.
Ia tersenyum dengan penuh kerendahan hatinya.
"Kenapa? Lu mau kesana?" tanyanya penasaran.
"Gue? Engga, gak mau" jawabku dengan tegas dan murung.
Yian menelusuri mataku dan segera mengetahui perasaan ku.
"Sebenarnya gue masih punya ayah" ungkapku setelah beberapa saat.
"Hm?" gumamnya bingung.
"Iya, lo tau kan yang di penjara sekarang, orang itu bukan ayah kandung gue, ah... apa bukan orang, ya? Pokoknya ayah kandung gue masih ada" ungkapku dengan suara bergetar.
Ia menundukkan kepalanya sambil berpikir keras setelah mendengar ceritaku. Keheningan yang lama membeku kanku sampai ke tulang. Yian menatapku dengan cemas, membuat ku tak mampu menatap tepat ke arahnya.
"Ayah gue udah lama tinggal di Amerika, tapi selama ini gue pura-pura seakan gak tau tentang keberadaan dia. Sebelumnya gua selalu pengen pergi ke Amerika buat nemuin dia, tapi semenjak banyak hal terjadi, gue rasa gue perlu lagi ketemu dia. Gue pikir dia bakal dateng sekali aja buat lihat keadaan gue sama Karel, tapi dia gak pernah dateng sama sekali. Gue beneran masih gak tau alasannya kenapa dia ninggalin kita semua" keluhku pada Yian.
Yian menggenggam tanganku, ia berusaha untuk menguatkanku yang saat ini tengah gemetar hebat.
"Maaf, gue jadi cerita tentang hal kayak gini" sesalku.
Aku tersenyum ke arahnya, awan hitam mulai menutupi bulan, Yian dengan inisiatif membantuku membawa semua buku ke dalam rumah. Lalu ia menoleh kebelakang dan melihat sepatu yang masih tergantung, cemas akan hujan ia kemudian membawa kedua sepatu tersebut ke dalam dan menaruhnya di samping meja.
"Kok beda sebelah gitu?" gumamnya bingung, namun ia segera meletakan sepatu tersebut dan turun untuk makan malam bersama keluargaku.
Ibu memperhatikan Yian dengan sangat baik, layaknya orang tua, Ibu mencurahkan segala rasa sayangnya kepada Yian. Rasanya hangat, tempat ini sungguh terasa sepeti rumah, untukku dan juga untuk Yian.
Esoknya di sekolah keadaan masih sama canggungnya seperti kemarin. Sophia terus menerus menghindari tatapan mataku, bahkan Irene sama sekali tak menatap ke arahku. Waktu istirahat pertama tiba, dengan penuh keberanian aku menghampiri meja Irene berusaha mengajaknya bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, diary
Teen FictionDear, diary Aku, Mikaela Picessa, menulis malam ini dengan penyesalan dan tanya. Dulu, dalam kekelaman jiwa, aku pernah menuliskan keinginan untuk menghapus seorang dari dunia ini. Kini, bertahun-tahun kemudian, orang itu menghilang, seolah lenyap d...