#Chapter 15 : Pink Slipper

3 3 0
                                    

Sejak beberapa waktu yang lalu aku sudah mendengar bahwa aku dan Ibu harus segera meninggalkan tempat tinggal kami, pemilik rumah meminta kami untuk segera membayar uang sewa secepatnya. Mudah saja bagi untuk pindah ke tempat yang lebih kecil dan murah, namun rasanya begitu berat untuk meninggalkan tempat yang sudah menyimpan banyak kenangan bersama dengan mendiang saudara kembarku, Karel.

Untuk saat ini, Ibu dengan putus asa meminta sedikit waktu sampai kami mampu membayar uang sewa rumah. Aku merasa tak berdaya, melihat ibu harus menanggung beban tersebut seorang diri. Kami membutuhkan banyak uang untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup kami. Ibu memintaku untuk tak memberi tahu tentang masalah ini kepada Tante Helena, cemas malah membebani adiknya tersebut. Ibu terus mengatakan bahwa semuanya bukanlah masalah besar dan memintaku untuk tetap fokus pada sekolah dan tak memikirkan apapun. Ibu selalu bersikap seolah segalanya baik - baik saja, ia tersenyum dan memperlakukanku dengan sangat baik, namun di balik itu semua aku tahu seberapa banyak malam yang Ibu habiskan sendirian untuk duduk merenung di kamarnya yang gelap.

Aku pergi ke sekolah hari itu, sudah hampir 2 bulan uang sekolahku belum terbayarkan. Aku sempat berpikir untuk pindah ke sekolah biasa, sekolah yang biayanya jauh lebih ringan, namun sepertinya untuk biaya pindah sendiri juga akan sama mahalnya. Kenangan yang dulunya jauh, tapi sekarang hidup di pikiranku. Aku tidak pernah berpikir bahwa ini akan terjadi pada kami suatu hari nanti.

"Mika, jangan dipikirin. Kamu harus fokus belajar, kamu main aja sama temen-temen kamu. Ibu gak mau anak ibu kesulitan. Ibu harap kamu tumbuh perlahan, jadi kamu gak perlu menghadapi kekacauan ini" harap Ibu, mengatakan pesan tersebut dengan suaranya yang lembut.

"Gak, Ibu. Mika bisa... aku gak capek, aku suka kerja, lagian juga gak akan ngeganggu sekolah..."

"Gak, Mika! Ibu cuma punya Mika sekarang, kamu gak perlu jadi kuat, yang kamu perlukan itu perlidungan, dari Ibu, dari orang dewasa. Kamu harus keluar, nikmatin langit yang indah... Ibu mau Mikaela tumbuh dengan kebahagiaan. Ibu boleh, kan berharap seperti itu?" ungkap Ibu.

"Tapi, Bu... apa langit juga masih sama cantiknya buat Ibu? Ibu ngelakuin semuanya sendiri, aku juga mau nemenin Ibu, kenapa Ibu harus kesusahan sendiri?" keluhku.

"Masih, Ibu harap langit masih akan sama cantiknya, biar bisa kamu lihat" balas Ibu dengan lembut.

"Ibu... aku bakal cepet lulus sekolah, dan ngebahagiain Ibu selamanya" tekadku.

Ibu menggeleng pelan dengan senyuman lembut, "Ibu udah bahagia sekarang, makanya anak ibu juga harus selalu bahagia" pesannya. Melihat tekad di matanya, aku merasa sedikit lebih kuat dan mengangguk.

Pelajaran sejarah dimulai, tetapi aku tak bisa fokus mengikuti pelajaran.

"Pak" panggilku, sambil mengangkat tangan kanan.

"Kenapa, Mika?" respon beliau.

"Saya boleh izin ke uks, pak?" tanyaku meminta izin.

"Kenapa? ngantuk denger penjelasan saya?" candanya.

Aku tak memiliki banyak tenaga, aku merasa amat lemas dan mengantuk.

"Irene, kamu antar Mika ke uks" suruh Guru sejarah.

Irene dengan tubuh tegaknya tak segera bangkit dari kursinya setelah mendengar perintah Guru sejarah.

"Maaf pak, saya harus catet semua yang Bapak jelasin barusan" balasnya dengan wajah datar.

Seisi kelas terkejut mendengar pernyataan Irene barusan, begitu pula dengan diriku. Namun aku segera sadar dan tak terlalu menanggapi ucapannya, sejak beberapa waktu yang lalu sikapnya memang menjadi lebih dingin dan sulit di mengerti. Aku segera berjalan dengan sedikit tenaga yang ku miliki.

Dear, diaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang