#Chapter 22 : don't ever wish

3 3 0
                                    

Di pagi hari yang hangat, aku mengharapkan hari yang juga hangat dan tenang. Entah keajaiban atau apapun itu, aku berharap tak ada orang-orang yang akan merusak perasaanku.

"Pengembala?" ucap seseorang yang terdengar tak asing.

Aku menoleh ke arah suara, benar saja orang tersebut adalah Arlen.

Yian dan Arlen saling menatap tajam pada satu sama lain, aku penasaran apa yang membuat keduanya begitu saling tak menyukai. Apa mereka masih mempermasalahkan soal tragedi kucing saat itu?

"Sejak kapan lo naik kendaraan umum?" cibirku.

Arlen memutar bola matanya, membelakangi diriku. 10 menit menunggu, rasanya begitu membosankan, tak ada percakapan yang terjadi di antara kami. Begitu bus tiba aku segera melangkahkah kaki memasuki bus dan mencari tempat duduk, di ikuti oleh Yian dan Arlen yang berjalan mengekor di belakangku. Aku duduk di kursi dekat jendela, namun hanya ada 2 kursi tersisa di sudut tersebut, Yian dan Arlen saling berdesakan berebut 1 kursi di sebalahku. Aku memandangi keduanya untuk beberapa saat sebelum akhirnya meletakan tas di bangku kosong tersebut. Aku mengangakat pundakku menatap keduanya dengan polos. Yian dan Arlen duduk di kursi belakang secara terpisah.

Butuh 10 menit perjalanan menuju sekolah dengan bus, bahkan saat turun dari bus mereka berdua masih berjalan mengiringiku. Diantara semua pemandangan, anak-anak di sekolah justru memilih untuk menatap ke arah kami bertiga. Kedua anak laki-laki itu telah mencuri semua pandangan mata, aku merasa tertekan dengan sorotan mata tajam mereka.

Aku menghentikan langkahku dan membuat keduanya menatap heran ke arahku.

"Temen-temen, bisa gak kalian jalannya jauhan sama gue?" tegurku.

"Gua? Kenapa gua juga harus jauhin lu? Kan masalahnya cuma ini orang" protes Arlen sembari menunjuk Yian tanpa menatap ke arah Yian.

Yian nampak tak terima dan berusaha untuk membela dirinya.

"Gak! Kalian berdua sama aja, udah sana jauh-jauh" ujarku berusaha mendorong keduanya menjauh dari diriku.

"Sana lu" ujar Arlen mendorong Yian.

'Lu juga" balas Yian tak terima.

Aku menarik napas gusar melihat keduanya yang bertindak lamban, aku memutuskan untuk berlari meninggalkan keduanya.

Aku sampai di kelas, tepat di depan pintu kelas aku berpapasn dengan Sophia, nyaris saja aku tersenyum kepadanya namun sebelum itu ia terlebih dahulu berjalan menabrakku yang berdiri di hadapannya.

Aku berusaha mengabaikan sikapnya dan berjalan menuju mejaku, di sana Irene duduk dengan anak-anak lain dengan senyuman di wajah mereka. Aku bertanya-tanya apa yang tengah mereka bicarakan, entah sejak kapan aku mulai takut kalau saja mereka membicarakan sesuatu yang buruk tentangku, akankah Irene mengarang hal lainnya agar semua teman-teman membenciku. Aku bingung dengan perasaanku, di satu sisi aku mulai merasa kecewa padanya namun di sisi lainnya aku masih menganggapnya sahabat baikku. Tidak mudah bagiku untuk melupakan semua yang telah kami lewati bersama, seandainya Irene mengakui kesalahannya dan memohon maaf, sepertinya aku akan segera memaafkan tindakannya kemarin.

Mengingat ujian kenaikan kelas akan di adakan tak lama lagi, untuk memenuhi nilai akademis olahraga, kelasku menuju ke kolam renang. Selain Bahasa Inggris, kelemahanku lainnya adalah berenang, aku pandai dalam olahraga lain tapi tidak untuk yang satu ini. Giliranku hampir tiba, aku berkumpul bersama beberapa teman lainya yang juga tak bisa berenang. Meski harus mendengar omelan dari guru olahraga terlebih dahulu setidaknya kini aku tak harus berenang seperti yang lainnya, sebagai gantinya aku harus mengambil nilai lebih untuk menyelam dan membersihkan peralatan setelah kelas berakhir.

Dear, diaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang