41. Apa Sudah Kamu Temukan Jawabannya?
"Tidak, aku tidak memiliki perasaan padanya! Semua hanya untuk membebaskanku dari kutukan berengsek ini!" – Beauty and The Beast --
"Kamu tidak berhak melarangku!" Rebecca menggunakan seluruh tenaganya, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman tangan Edgar.
"Untuk apa kamu pergi menemui pria berengsek yang tidak bisa memenuhi janjinya? Pria yang bahkan melepaskan tanganmu di saat kamu kesulitan?" ucap Edgar.
"Karena hanya pria berengsek itu jalan keluarnya." Rebecca menatap mata Edgar. Dia tahu kata-kata Edgar benar. Holiver Coint pria pengecut yang tidak bersedia berdiri bersamanya saat dia mengalami kesulitan. "Jangan mempersulit hidupku, Edgar." Rebecca yakin saat ini matanya panas dan merah. Dirinya bisa merasakan matanya perlahan dipenuhi airmata. "Aku mohon."
Ya, Rebecca tidak ada pilihan lain. Hari ini rumahnya kembali didatangi orang-orang yang tak dikenalnya. Dan tebak, untuk apa mereka mengunjungi kediaman Baron Chaiden yang sudah bangkrut? Benar! Mereka menagih utang! Lagi? Ini entah keberapa kalinya Rebecca harus berurusan dengan para penagih utang. Kali ini dia bisa selamat, tetapi dia tidak tahu apakah dia masih memiliki cadangan nyawa untuk yang berikut dan berikutnya. Belum lagi, pamannya datang untuk memberitahu agar dia segera mengosongkan rumah. Batas waktu perjanjian sudah dekat.
Rebecca telah menyusun rencana. Dia akan menawarkan rumahnya kepada Holiver Coint. Dengan demikian, dia akan memiliki uang untuk membayar pamannya. Dan sisanya masih dapat dia gunakan untuk tinggal di perdesaan bersama Jane. Keluarga Jane, pelayan tua di kediamannya tinggal di Portmerion. Desa yang berada cukup jauh dari London. Mereka akan memulai kehidupan baru di sana. Sayangnya rencana ini tidak akan berhasil jika dia tak dapat menemui Holiver Coint.
"Ah iya, bagaimana dengan Jane, Hemlin dan anak-anak?" Rebecca panik.
Edgar menepuk punggung Rebecca pelan. "Tenang, tenang. Mereka sudah kulepaskan, dan kuminta untuk segera mencari pertolongan."
"Mereka harus segera diobati," gumam Rebecca. Dia akan membawa pelayan dan anak-anak untuk berobat setelah urusannya selesai.
"Begitu juga kamu," ucap Edgar.
"Tidak, aku tidak perlu. Aku baik-baik saja." Rebecca kembali menatap pada darah yang merembes pada lengan baju Edgar. "Urusi saja lukamu sendiri."
Edgar menggeleng. Rebecca mengatakan hal yang tidak masuk akal. Bagaimana bisa dia mengatakan keadaannya yang penuh luka, memar serta pakaian yang berantakan sebagai baik-baik saja. Edgar akan memastikan Rebecca diobati dengan benar serta beristirahat.
"Kita obati dulu lukamu," bujuk Edgar.
"Aku harus segera pergi!"
"Pria berengsek itu sudah bersiap melarikan diri!" ucap Edgar.
"Ya, aku tahu! Karenanya, aku harus mengejar waktu sebelum dia pergi! Jadi jangan halangi aku, menyingkirlah!" bentak Rebecca.
"Jangan temui dia!" Edgar menggeram.
"Aku harus menemuinya. Ada urusan penting yang harus aku bicarakan dengannya." Rebecca membasahi bibirnya, kedua lengannya mendorong Edgar menjauh.
Perlahan pelukan pada pinggangnya mengendur. Namun, tanpa dia duga lengan Edgar melingkari pundaknya lalu menariknya kembali begitu dekat.
"Kumohon, jangan pergi," bisik Edgar tepat di samping telinga Rebecca. Suara Edgar terdengar begitu rapuh.
Rebecca nyaris tak percaya. Setiap kali yang dia dengar amarah, geraman, teriakan dan bentakan Tuan Beruang Buas. Kali ini suara Edgar sangat berbeda. Suara yang mengantarkan desir-desir di dalam jiwa Rebecca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beast Broken Mask
Historical FictionEdgar Hallmark, semua mengenalnya sebagai si Beruang Buas. Entah sejak kapan julukan itu muncul. Bukan hanya karena tubuh besar tinggi dengan rambut cokelat kemerahan panjang serta janggut tebalnya yang mengukuhkan dirinya sebagai beruang buas, ...