42. Pada Akhirnya, yang Tersisa Hanya Kesendirian

137 41 9
                                    

Sorry banget telat. Selamat hari Senin. Semangat.

Beberapa hari ini cuaca super panas, reader Babang Beruang yang cakep-cakep, jaga kesehatan ya. Jangan lupa minum air putih yang cukup, pakai sun block, cukupkan asupan buah dan sayur.

Semoga kita sehat selalu serta diberikan rezeki yang melimpah.


*berasa ibu-ibu PKK aku ya. hehehehe

====

42. Pada Akhirnya, yang Tersisa Hanya Kesendirian

"Aku tak ingin berharap. Terlalu takut. Beauty mungkin tidak pernah ingin kembali lagi ke kastil dingin ini, tidak ingin bertemu dengan mahluk mengerikan seperti diriku."

– Beauty and The Beast. --

Rebecca berjalan menuruni tangga. Keadaan di bawah sangat berantakan. Kaca pecah berserakan, pintu depan lepas dari engsel dan tergeletak di lantai. Ternyata sumber suara tadi berasal dari anak-anak yang kini berdiri menatap Rebecca lega. Anak-anak dan Jane yang tadi diselamatkan Edgar muncul bersama seorang pria.

"Pendeta Addisson," sapa Rebecca.

"Apakah kamu baik-baik saja, Miss Park?" Sang Pendeta bertanya dengan penuh perhatian. "Maaf, aku terlambat datang. Anak-anak tadi datang membawa Brake yang terluka."

"Bagaimana keadaan Brake dan Hemlin?" tanya Rebecca cemas.

"Brake dan Hemlin sedang diobati putriku," sahut Pendeta Addison, "Sedangkan dirimu, apakah baik-baik saja?"

Pendeta Addison tinggal di rumah di belakang gereja bersama dua putrinya dan Dallin, putranya dulu. Istri sang pendeta meninggal dua tahun lalu, menyisakan duka begitu dalam pada Pendeta Addison. Dia lebih banyak berdiam di dalam rumah atau berdoa di kapel.

"Semua baik-baik saja," ucap Rebecca. Matanya memindai anak-anak yang berdiri ketakutan. "Kalian, bagaimana dengan kalian?" Rebecca memeriksa setiap anak lalu menghela napas panjang. "Mereka bahkan memperlakukan anak-anak dengan kasar!" geramnya.

"Kurasa kita harus melaporkan hal ini kepada pihak yang berwajib," usul Pendeta Addisson.

"Ya, aku setuju," sahut Edgar yang muncul dari tangga.

Pendeta Addisson sedikit tersentak kaget. Dia mengira pria bertubuh besar tersebut adalah musuh. Jika memang benar pria itu musuh, tentu saja dia yang bertubuh tua dan kurus tak akan mampu menghadapinya.

"Maaf, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Edgar Hallmark."

Pendeta Addisson tentu saja mengenal pria itu setelah melihat dengan lebih seksama. "Aku, Petrus Addisson. Senang dapat berkenalan dengan Anda, Sir Edgar Hallmark," sapa Pendeta Addisson yang dibalas dengan anggukan hormat Edgar.

"Kembali kepada urusan tadi," ucap Edgar, "Ada baiknya kita melaporkan kepada pihak yang berwajib."

"Tidak perlu," sahut Rebecca. Dia tidak ingin membuat semua orang semakin mengetahui keadaan keuangannya serta menambah bahan untuk gosip bagi semua orang. Lagipula, jika keadaan ini terdengar oleh Holiver Coint, kemungkinan besar rencananya akan benar-benar gagal.

"Tapi—" Ucapan Sang Pendeta disela.

"Pendeta Addisson, aku tahu selama ini Anda tidak terlalu suka padaku," ucap Rebecca setenang mungkin.

"Tidak, Anakku. Aku mengasihimu seperti aku mengasihi adikmu dan anak-anakku." Pendeta Addisson menatap Rebecca lagi. "Lagipula aku dan ayahmu sudah bersahabat cukup lama."

Rebecca hampir tertawa. Jika memang Pendeta Addisson peduli, bukankah seharusnya dia memberikan bantuan atau setidaknya datang saat dia membutuhkan bantuan?

Beast Broken MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang