33. Si Bungsu

635 71 0
                                    

"Hai, Bang ...," sapaan itu membuat Gerald menoleh.

Dia baru saja keluar dari kamar, setelah melepas lelah dengan tidur siang hingga menjelang sore.

Tidak ada keterkejutan di wajah itu tatkala melihat sang adik ada di rumah ini. Memang sudah dijadwalkan, hari ini si bungsu pulang. Gerald juga diminta untuk menjemput di bandara, tetapi dia malah ketiduran.

"Siapa yang jemput?" tanya Gerald pada lelaki berusia 22 tahun itu.

"Bang Edgar." Sambil mengikuti Gerald dari belakang.

Ya, niatnya keluar kamar untuk segera ke dapur dan mengisi perut. "Wisudanya kapan?"

"Bulan depan," jawab si bungsu, sambil terus mengekori.

Gerald tak risi terus diikuti dari belakang. Jika dilihat dari suasana rumah, beberapa anggota keluarga lain sedang tidak berada di sini. Terlebih, Gia dan Gio. Mungkin, kedua keponakannya itu sedang ikut ibu dan kakak iparnya.

Jadi, wajar sekali jika Segaf menargetkannya sebagai teman mengobrol. Lagi pula, mereka sudah berbulan-bulan tak bertemu, sangat tidak mungkin Gerald menghindari obrolan bersama sang adik.

Sampai di ruang makan, Gerald segera menarik kursi, lalu duduk di sana. "Ngapain ngekorin Abang mulu?" Sambil menuangkan air ke gelas.

Segaf mengambil tempat di sampingnya. "Abang mau nikah, ya?"

Gerald membalas dengan anggukan, karena sedang minum.

"Emang bener, Kak Wika hamil?"

Pertanyaan itu membuat Gerald menyemburkan air dari mulutnya. Bukan karena kaget dengan apa yang ditanyakan Segaf, tetapi dari mana adiknya tahu tentang berita itu?

Adakah orang yang membocorkannya?

"Dari mana lo tahu?" tanya Gerald.

Segaf menatap ke sembarang arah untuk mencari jawaban. Tidak usah ditanya, sudah pasti si bungsu tahu dari kakak mereka. Jelas sekali, Segaf dijemput oleh pria itu dari bandara. Sial! Ini memalukan.

"Abang?" Satu pertanyaan itu membuat Segaf melirik risi.

Memberi cengiran dan tawa kikuk, Segaf sedang berusaha mencairkan suasana. Sang adik pasti tahu, hubungannya dan kakak pertama sedang tidak enakan.

"Bener, 'kan?" Gerald bertanya lagi. Segaf mengangguk pasrah.

Mendapatkan jawaban itu, membuat Gerald menghela napas. Seharusnya, Edgar tidak perlu mengatakan hal se-sensitif itu pada si bungsu. Dia sadar, ini hanya sebuah kebohongan untuk mengelabui Edgar, tetapi tetap saja tidak enak jika Segaf juga harus tahu tentang alasan palsunya untuk segera menikah.

Gerald memutuskan untuk berdiri dari duduk. Rasa lapar tadi sudah hilang karena Edgar dan Segaf.

"Abang mau ke mana?" tanya Segaf.

"Ketemu Kak Wika." Menjawab sambil melangkah menuju kamar.

Setelah mandi dan berganti baju, dia akan menemui Wika. Siapa tahu, dengan bertemu perempuan itu, Gerald bisa kembali menemukan nafsu makannya.

Langkah kaki terdengar lagi dari balik punggungnya. Gerald berhenti di depan tangga. Dia kemudian berbalik.

"Mau sampe kapan ngekorin mulu?" tanyanya pada Segaf yang kini tersenyum seramah mungkin.

"Habisnya, di rumah cuma ada kita berdua. Baru juga pulang, bukannya disambut, malah ditinggal." Segaf mengeluh.

Gerald menghela napas. Benar juga apa kata Segaf, tetapi balik lagi. Dia tidak bisa berlama-lama bersama adiknya itu dengan suasana hati seperti ini.

"Temuin Clarisa, gih." Kemudian kembali melanjutkan langkah.

"Nebeng mobilnya, ya, Bang. Sekalian gue mau ke rumah Clarisa," kata Segaf, sedikit mengeraskan suara, agar didengar olehnya.

Ah, rupanya menghindar dan melarikan diri dari si bungsu tidak bisa menjadi tindakan terakhir. Tidakkah Segaf merasa bahwa kini dia sedang tidak enak hati, karena pertanyaan tentang kondisi Wika tadi?

_______

Gerald menandaskan isi gelasnya, lalu menghempaskan punggung ke sandaran kursi.

Anggap saja dia tak memiliki adab karena numpang makan di rumah calon istrinya. Meskipun wajar, tetapi ini pertama kali dilakukan oleh Gerald.

Selama ini, jika dia datang menemui Wika dalam keadaan lapar, Gerald lebih memilih untuk mengajak perempuan itu makan di luar.

"Laper banget, ya?" tanya Wika yang duduk di hadapannya, sambil mengupas kacang.

Gerald hanya mengangguk. Pertama kali menginjakan kaki di rumah ini, dia segera mengatakan maksudnya pada Wika.

Mengisi perut. Segera perempuan itu membawanya ke ruang makan. Sebenarnya, masih ada pertanyaan sedikit. Itu karena Wika heran dengan tingkahnya. Namun, Gerald sudah tidak mampu membalas, karena rasa lapar sudah tak bisa dikendalikan.

"Jadi, apa yang bikin kamu  lari ke sini untuk minta makan?" Kembali pertanyaan ini didengarkannya lagi.

"Segaf," jawab Gerald.

Wika menatapnya. "Segaf udah pulang?"

"Iya."

Perempuan itu terkekeh. Ya, rasanya lucu, karena Gerald risi dengan adiknya sendiri. "Kok, bisa cuma kar'na Segaf larinya sampai ke sini?"

Gerald menghela napas. Andai Wika tahu, perempuan itu juga pasti akan kehilangan nafsu makan. Untuk itu, Gerald lebih memilih bungkam dan tak mengatakan alasan tersebut.

"Gangguin mulu tuh anak." Gerald kemudian mengambil kacang yang dikupas oleh Wika.

"Namanya juga kangen."

"Risi, tahu, ngekor mulu ke mana-mana."

Wika terkekeh. "Emang Gia dan Gio ke mana?"

"Ikut mama dan Mbak Lia, mungkin. Mereka mana mau, sehari di rumah mulu."

Perempuan itu berhenti mengupas kacang. "Udah gede, tuh, anak-anak. Pertama kali aku ketemu mereka, bicara aja belum bisa."

"Beda, dong," kata Gerald, "sekarang Gia dan Gio udah mulai jauh, mungkin kar'na udah sekolah juga."

Wika terkekeh. "Kasihan paman, udah nggak bisa makan bubur ponakan lagi."

Mendapat ledekan itu, lantas Gerald membuang pandangan ke sembarang arah. Dia ingat saat datang menjenguk Wika tiga tahun lalu, dan membawa serta bubur buatan kakak iparnya.

Beberapa bulan sejak itu, Gia dan Gio tidak makan bubur lagi karena sudah memiliki gigi yang utuh. Hidup Gerald terasa hampa karena tidak bisa lagi mencicipi bubur keponakannya.

"Kangen juga sama rasa buburnya," ungkap Gerald.

Wika tertawa kecil. "Kenapa nggak minta bikinin Mbak Lia aja?"

"Malu, lah."

"Kamu bisa malu juga?" Bertanya dengan senyum jahil.

"Menurut lo?"

Satu kulit kacang dilempar ke arahnya. Meskipun tak sampai, tetapi Gerald tetap sigap menghindar. Dia tahu, apa yang membuat Wika melemparinya dengan kulit kacang itu.

Wajah perempuan itu terlihat garang. Gerald segera memutar otak untuk mengalihkan pembicaraan. Cari tema yang bisa membuat Wika tersenyum lagi.

"Gaunnya keren," kata Gerald. Bukan bermaksud untuk memuji, ini hanya taktik agar Wika tidak marah lagi padanya.

Benar, perempuan itu tersenyum cerah. "Beneran?"

Gerald mengangguk. "Iya."

"Kamu udah liat?" tanya Wika, yang dihadiahi anggukan oleh Gerald. "Yah, gak surprise lagi."

"Nggak masalah. Lagian juga, gu—aku belum liat kamu pake gaunnya." Diakhiri dengan menelan ludah. Hampir saja, Gerald membuat Wika marah lagi.

Perempuan itu tersenyum cerah, ada bercak merah di pipi Wika. Terlihat bahagia. Padahal, Gerald saat ini sudah hampir menjemput ajal karena marahnya Wika tadi.

________

Tunanganku bukan Cintaku (TAMAT) ✓ #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang