Pagi di hari Kamis, Wika duduk di pinggir lapangan sambil berkonsentrasi belajar, saat matanya juga ingin sekali melihat aksi Gerald memainkan si bundar oranye. Gerald menepati janji padanya untuk mengantar jemput, meski mata kuliah yang dimiliki lelaki itu telah selesai.
Wika masih harus berjuang lagi selama dua hari ke depan. Ini adalah dosa yang harus dia tanggung karena di tahun kemarin terlalu santai, bahkan tak peduli dengan kuliah.
Angin di pukul 09.30 menganyunkan rambutnya yang digerai hari ini. Suara pantulan bola memang membebani pikiran, hingga mata teralih lagi ke arah lapangan lagi dan lagi. Rasanya, ujian nanti Wika akan kesulitan, mengingat raganya terbagi antara buku dan permainan basket Gerald bersama beberapa teman.
Derap langkah mendekat. Tatapan menyorot padanya seperti sedang mengintimidasi. Wika tetap membaca buku karena merasa orang itu sangat tak penting.
"Ngapain lo?"
Dia berdecak di dalam hati. Hanya ada dua orang yang memusuhinya di kampus ini, suara perempuan itu sudah bisa ditebak siapa pelakunya. Vini.
"Budek lo?"
Sial! Sekarang, konsentrasi Wika terbagi tiga bagian. Dia melirik jam memastikan bahwa sudah saatnya untuk menuju fakultas. Benar juga, lebih baik pergi daripada harus meladeni Vini.
Mendengkus, kemudian mengambil tas, dan merapikan barang bawaan, dilakukannya agar perempuan itu puas tanpa harus mengajak perang lagi. Vini berdecak karena sejak tadi tak dipedulikan olehnya. Rasakan.
Wika berdiri, melewati Vini yang tatapannya sama sekali tak digubris oleh Wika. Cari aman saja, daripada harus telat ujian hanya karena bertengkar dengan perempuan itu.
"Wika," panggilan Gerald membuatnya menoleh. Lelaki itu mendekat meninggalkan lapangan, "lo keganggu?"
Pertanyaan itu mewakili Gerald yang sejak tadi pasti menjadikan Wika dan Vini sebagai fokus. Kepala Wika gelengkan sebagai jawaban.
"Terus?"
"Entar lagi gue masuk." Gerald hanya mengangguk kecil dengan jawaban itu.
"Mata kuliah lo sebenarnya ada berapa, sih?"
Wika menggigit bibir bawah, karena pertanyaan itu. Ingin bungkam, tetapi rasanya tak sopan. Gerald pun harus tahu, mengingat dialah yang direpotkan untuk mengantar jemputnya ke kampus.
"Sepuluh." Wika menjawab sedikit berbisik.
"Astaga," lirih Gerald, bukan seperti terkejut melainkan mengejek.
Tangan Wika spontan tergerak mencubit perut lawan bicaranya. Meskipun Gerald berkeringat, dia tak peduli karena sudah telanjur sakit hati dengan ledekan tadi.
Perlu Wika akui, bahwa mereka sudah dekat karena sering bersama. Namun, belum sampai ke tahap saling memahami satu sama lain. Masih ada tembok yang memisahkan Wika dan Gerald.
"Udah, sakit." Lelaki itu menjauhkan tangannya.
"Keringat lo, iiih." Wika menyeka jarinya ke celana. Mau bagaimana lagi, tak ada tempat untuk membersihkan di pakaian Gerald. Seluruhnya basah dengan keringat.
Ada yang lembut menghantam pipi kiri saat kepalanya menunduk. Tatapan Wika bertemu dengan manik lelaki itu. Seketika disadari apa yang sedang Geral lakukan padanya. Mencium pipi.
"Aduh, masih pagi."
Wika menoleh ke arah lapangan.
"Yang sabar Vini."
Meskipun Wika meraih kemenangan, tetapi mata ini sama sekali tak ingin melihat perempuan itu. Wika menatap Gerald tajam. Si muka datar malah membalas dengan menepuk pipinya yang tadi menjadi tempat pendaratan bibir lembut lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tunanganku bukan Cintaku (TAMAT) ✓ #3
RomanceSpin-off: Pressure (Gerald Izzatul Arkana) -- Kehilangan seorang kekasih tanpa ucapan selamat tinggal adalah sebuah perpisahan yang sangat menyakitkan. Tanpa sengaja, Wika membuat Tomi terluka karena perjodohan yang diputuskan oleh orang tua. Ketika...