Dua hari berlalu setelah Gerald pergi berlibur, lelaki itu terus mengirimkan Wika pesan untuk mengingatkan makan. Wika tak pernah membalas karena alasan gengsi.
Kemarin, Lia datang menjenguknya, mereka mengobrol layaknya seorang perempuan. Wanita itu tak memaksanya untuk menceritakan masalah yang saat ini tengah terjadi.
Lia bilang, dia disuruh oleh Gerald karena Wika yang sama sekali tak pernah membalas pesan darinya. Sungguh sangat merepotkan.
Untung saja Wika masih punya hati nurani, jadi gengsi yang tadi malas membalas pesan Gerald—dia buang jauh, agar si muka datar tak membuat Lia repot untuk mengunjunginya lagi.
Lia membawa serta kedua anaknya, Wika bermain dengan mereka. Hanya Gia saja, karena Gio termasuk anak yang pemalu.
Tentang hubungan Wika dan kedua orang tuanya, sulit dikatakan. Sejak kejadian tersebut, dia terus diam meskipun sudah mau keluar kamar.
"Iya, Rah." Wika menjawab ucapan Sarah dari sambungan telepon genggam.
Rencana hari ini adalah menghabiskan waktu dengan kedua temannya. Anggap saja balas dendam karena tak niat ikut dengan Gerald.
Jangan katakan Wika menyesal, sebenarnya iya. Karena selama dua hari tersebut, Wika terpuruk dengan pikiran mengganjal yang hampir membuatnya lupa diri. Melepas penat bersama Gerald dan teman-temannya akan lebih bermakna. Ngomong-ngomong tentang lelaki itu, lima hari lagi dia akan pulang.
Wika tidak terlalu memikirkannya, tetapi tiap kali membaca chat dari Gerald, dia akan langsung berpikir dua kali bahwa suasana hatinya berubah hanya karena tak bertemu dengan tunangannya tersebut.
Kebiasaan berdua dalam seminggu ini. Yah, kesimpulan yang tepat untuk hal itu.
"Iya, ini udah buru-buru," jawab Wika kepada Sarah. Perempuan itu sungguh tak sabaran.
Wika memutuskan sambungan secara sepihak. Memasukkan ponsel ke dalam tas, kemudian sibuk mengenakan sepatu.
Setelah selesai, dia segera menyambar kunci mobil di atas nakas, dan langsung menuju keluar kamar.
Hari ini, targetnya adalah menghabiskan uang jajan dari Purnomo. Haha.
Wika melewati kedua orang tuanya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mereka sudah tahu akan ke mana dia pergi.
Meskipun sedang dalam keadaan frustrasi, Wika tidak pernah berpikir macam-macam hingga merugikan diri sendiri.
Rute kali ini adalah mal. Sarah dan Maudi telah menunggu di sana, untuk itu si mulut mercon cerewet sekali saat meneleponnya.
Saat duduk di mobil, ponsel Wika kembali bergetar. Dia mengambil benda itu terlebih dahulu untuk mendapatkan kabar dari seseorang.
Lagi-lagi Sarah. Wika mendengkus, kemudian mengangkat panggilan itu.
"Iya?" ucapnya sedikit menggerutu.
"Makan dulu, deh, baru belanja."
Bibir bawah digigitnya, sangking kesal. Mengapa harus merubah rencana seperti ini? Dasar Sarah. Untung saja Wika belum beranjak se-senti pun dari halaman rumah.
"Iya, tapi di mal, 'kan?"
"Iyalah, gue kabarin biar lo nggak kesasar pas nyampe sini."
"Ya, udah, ini gue mau jalan."
"Oke," balas perempuan itu.
Wika menatap layar ponsel. Satu chat, lagi-lagi dari Gerald.
Gerald: Lo mau jalan ke mana?
Terlalu to the point, harusnya Gerald basa-basi terlebih dahulu. Jika seperti ini, sudah pasti Wika bisa menebak, bahwa dia disuruh oleh bunda untuk bertanya. Dasar Gerald.
Wika tak membalas, dia meletakkan ponsel di atas dashboard, kemudian mengendarai mobil untuk menjauh dari rumah.
Gerald bukanlah seseorang yang akan menyerah. Terbukti bahwa lelaki itu menelepon Wika hingga menghasilkan ponsel yang terus bergetar. Sungguh mengganggu perjalanan menuju indahnya hari ini.
Wika biarkan saja. Fokusnya tetap pada jalan yang begitu ramai. Ah, sungguh menyusahkan.
Jika ini bersama Gerald, sudah pasti dia tidak perlu berkonsentrasi karena lelaki itu sangat siap untuk menyetir, sedang Wika duduk diam di kursi penumpang.
Astaga, kenapa Gerald lagi? Dia harus segera mengalihkan pikiran.
Mobil berhenti saat lampu merah. Ponsel terus bergetar, Wika putuskan untuk mengangkat walau sebentar.
"Gue lagi nyetir," jawabnya pada orang di seberang sana. Gerald.
Sebelum lelaki itu mengucapkan satu kata, Wika matikan sambungan tersebut. Bisa-bisa dia gila, jika harus menghadapi Gerald terus.
Jalan mulai padat. Ah, Wika akan terlambat kalau seperti ini terus. Maudi pasti memaklumi, tetapi Sarah? Mendengar suaranya di ponsel saja Wika sudah hampir stres.
Beberapa menit di tengah kemacetan, akhirnya Wika bisa keluar juga. Ponselnya bergetar lagi, kali ini pasti dari Sarah. Untung saja perempuan itu menelepon saat mal sudah terlihat.
Segara Wika masuk ke halaman gedung tersebut, tempat yang akan dituju pertama adalah basemen.
Dari kejauhan sudah terlihat Sarah dan Maudi menunggu di sana. Keduanya melipat tangan di depan dada. Padahal, saat Wika mengajak mereka jalan, dia sangat diagungkan karena akan mentraktir apa pun yang mereka mau.
Terserah akan menjadi seperti apa, yang penting Wika sampai dengan selamat.
"Telat mulu," gerutu Sarah, saat Wika baru saja keluar mobil.
"Maaf, maaf," ucapnya.
"Ya, udah, masuk." Maudi mengajak.
Mereka berjalan untuk masuk ke dalam mal. Melewati beberapa mobil yang terparkir sambil bergandengan dan berceloteh beberapa detik, hingga Wika dan Maudi sadar bahwa Sarah menghentikan langkah.
Mereka berdua menoleh padanya yang terdiam sambil melihat ke arah depan. Sekarang, pandangan Wika menuju pada seseorang yang menjadi pusat perhatian Sarah.
"Wika?"
Orang itu menyebutkan namanya. Wanita dengan perut buncit tersebut menatap Wika penuh ketakutan. Matanya berkaca-kaca, Wika tak tahu apa sebabnya.
Dia tak mengenal wanita itu, tetapi tatapan Sarah kepada sosok tersebut seolah menjelaskan bahwa Wika harus tahu siapa dia.
_________
06.08.20
Siapakah dia??? 🤪
KAMU SEDANG MEMBACA
Tunanganku bukan Cintaku (TAMAT) ✓ #3
RomanceSpin-off: Pressure (Gerald Izzatul Arkana) -- Kehilangan seorang kekasih tanpa ucapan selamat tinggal adalah sebuah perpisahan yang sangat menyakitkan. Tanpa sengaja, Wika membuat Tomi terluka karena perjodohan yang diputuskan oleh orang tua. Ketika...