16: Tidak Ikut

3.9K 476 19
                                    

Mata Wika mengantuk, tetapi tak bisa tidur. Semalam dia habiskan untuk menangis karena rasa kekecewaan kepada sang ayah.

Belum ada yang membujuk untuk keluar kamar, jikalau ada, sudah pasti akan ditolaknya. Melewatkan makan malam dan juga sarapan di pagi ini belum tentu bisa membuatnya mati kelaparan.

Derit pintu terbuka membuat Wika mendengkus. Bukannya tidak ada niat mengunci. Dia memang sengaja membiarkan itu, agar mudah diawasi oleh orang rumah.

Wika belum tahu siapa yang masuk ke kamarnya, karena dia memunggungi arah pintu.

"Maaf, gue masuk tanpa izin."

Suara berat yang kemarin membentaknya. Mendengar suara tak membuat Wika mengubah posisi.

"Biar gue jelasin, daripada lo jadi kayak gini." Ada jeda, seperti apa pun itu Wika tidak akan percaya.

Gerald mendengkus, mungkin saja dia bosan karena Wika yang tak peduli.

"Malam itu ayah lo ngejar mobil yang hampir nyerempet dia, ternyata itu Tomi bareng selingkuhannya."

Lagi-lagi penjelasan yang menjatuhkan Tomi. Wika muak mendengar ini.

"Tomi nyadar itu ayah lo, dia ngebut buat ngehindarin, lo pasti tahu apa yang terjadi berikutnya."

Cerita basi. Ingin sekali Wika meneriakkan itu pada orang tersebut, tetapi mulutnya masih ingin bungkam. Biar saja keputusan pihak berwajib yang menentukan.

"Nggak ada gunanya lo kayak gini, masih banyak tempat yang mau nerima lo," ucap Gerald.

Katakan Wika pendengar setia. Nasihat dari seorang pembohong tidak akan membawanya menuju kebahagiaan.

Rasa benci ini sungguh telah mendalam. Telinga sudah Wika tutup rapat dengan penjelasan tak berujung kejujuran. Sungguh luar biasa sandiwara ini.

Sisi tempat tidur bergerak, insting mengatakan bahwa Gerald sudah duduk di tepi kasur. Sangat aneh, jika dalam situasi seperti ini Gerald mengambil kesempatan untuk melakukan sesuatu padanya.

"Gue bakalan pergi bareng teman-teman," katanya, "lo juga nggak niat ikut, 'kan?"

Wika pikir, Gerald akan membahas apa lagi. Tentang liburan mereka, Wika memang sudah tak berniat ikut karena fakta tak terduga ini.

Gerald mengerti. Lelaki itu bahkan tak ada niat memaksa, padahal sangat bahaya jika kakeknya mengetahui ini.

Sentuhan di rambut Wika rasakan, Gerald menepuk pelan kepalanya. Hanya beberapa detik kemudian tak dirasakannya lagi sentuhan itu.

Wika menyadari, Gerald sangat baik. Bahkan tak ada sedikit pun niat untuk menyakitinya. Namun, kembali pada fakta bahwa lelaki itu adalah pengganggu hubungannya dan Tomi, kebencian Wika tidak akan pudar begitu saja.

Gerald sudah menyakitinya jauh sebelum kepergian Tomi. Sampai saat ini dia tidak pernah tahu apa penyebab Gerald mau menerima perjodohan ini. Kesimpulan asal yang dia tarik adalah lelaki itu pasrah atau memang tidak bisa memilih perempuan sendiri.

"Gue pergi," pamit Gerald setelah berdiri dari tempat tidur Wika.

Entah mengapa, ada rasa tak rela saat Gerald mengucapkan itu. Padahal, sejak tadi di hati Wika terus menolak kedatangannya, apalagi penjelasan tanpa bukti tersebut.

Suara pintu ditutup membuat Wika tersadar bahwa kesunyian kembali merambat. Bodoh, dia selalu mengatakan bahwa kehadiran Gerald adalah diam. Sungguh aneh, jika kepergian lelaki itu juga ikut mengundang sepi.

Wika berbalik ke arah pintu. Kosong. Gerald bahkan tak menunggu Wika untuk berbalik badan dan melihatnya.

Aneh, pikiran Wika mulai kehilangan arah. Entah apa pemicunya, tetapi ini sangat tidak biasa dia rasakan. Apalagi untuk seorang Gerald.

Mata Wika melirik ke arah meja belajar. Ada piring dengan roti di atas sana, tak lupa segelas susu. Tatapannya terfokus pada dua benda itu.

Saat suara mobil terdengar, Wika segera beranjak ke arah jendela. Kamar yang tadinya gelap kini terpancar cahaya mentari karena gorden dibuka untuk melihat ke luar.

Tatapannya terpaku pada mobil Gerald yang bergerak meninggalkan rumah. Rasa sesak seketika menyelimutinya, benar-benar hampa.

Ada yang mengalir di pipinya. Punggung tangan segera mengusap, bukan karena malu terlihat orang lain, tetapi ingin menepis kesedihan. Seharusnya, tidak perlu sampai berlebihan seperti ini.

Gerald bukanlah alasan mengapa air matanya harus jatuh.

Getaran ponsel pada tempat tidur membuat Wika berbalik. Semalam dia menghubungi ibu dari Tomi yang tinggal di luar pulau Jawa. Mungkin saja itu balasan dari beliau.

Selama pacaran, Tomi hanya memperkenalkan dia pada ibunya saja, sedang sang ayah tidak, padahal lelaki itu tinggal bersama beliau.

Mata Wika membulat saat mengetahui siapa yang mengirimkannya chat. Gerald. Lelaki itu menulis pesan agar dia tak lupa untuk makan.

Yah, Gerald selalu datang saat Wika tak mengharapkannya. Wika pikir, ini pesan dari orang tua Tomi. Meskipun tertipu, tetapi hatinya sangat senang.

Sekarang, Wika harus membalas apa?

Masih sedang berpikir, satu lagi chat masuk dari orang yang sama.

Gerald: Uang jajan dari kakek, gue kirim ke rekening lo, tadi bunda lo yang ngasih tahu ke gue nomornya.

____

Masih ada yang baca cerita ini?

Tunanganku bukan Cintaku (TAMAT) ✓ #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang