Sinar mentari kini telah masuk ke dalam kamar, memenuhi cela jendela dan menembus kaca bening. Pagi ini tubuh Wika masih tetap terasa lemah, padahal sudah meminum obat untuk kesekian kalinya. Sang bunda bahkan semalam ada di sini, mengawasi saat dia terlelap.
Tangannya menggapai ponsel melihat lagi chat yang masuk dari teman-teman. Sekarang, Wika tak bisa pergi kuliah. Sungguh sial! Untung saja, penghuni kelas sudah tahu bahwa sakit ini ada sejak dua hari lalu. Jadi, dia tidak perlu repot memberitahukan mereka.
Wika terkejut saat statusnya yang memasang emotikon sakit dilihat oleh satu nama alien. Gerald. Jika tahu akan seperti ini, kemarin dia tidak akan meninggalkan kampus, dan lebih memilih untuk menunggu Gerald—agar sang bunda tidak memberikan nomor ponselnya kepada lelaki itu.
Entahlah. Jika hari ini dia bertemu Gerald lagi, mungkin demamnya tidak akan turun. Lelaki itu pembawa virus.
Bunda memasuk kamar dengan pakaian rapi. Ya, hari ini Wika dibawa ke dokter, jika dibiarkan penyakit akan semakin menjadi. Sehat itu mahal.
“Ayo, cepat siap-siap,” kata bunda lembut.
Wika bangun dari tempat tidur. Rika membantu bersiap dengan memilihkan baju yang akan dikenakan oleh Wika. Saat pakaian itu berpindah di tangan Wika, sang ayah masuk memberitahu sebuah kabar.
“Ada Gerald di bawah.” Informasi itu membuat Wika hampir saja ambruk.
“Iya?” Bunda tak yakin, sampai ayah menganggukkan kepala, wanita itu menjadi sumbringah.
Rika meninggalkannya dan Erwin—ayah Wika. Pelet apa yang dipakai Gerald hingga ibu-ibu saja bisa tergoda dengannya?
“Kenapa nggak bunda aja yang dijodohin? Kayaknya udah jatuh cinta banget, tuh, sama Gerald,” gerutu Wika.
Ayah berdecak. “Udah ganti baju kamu, habis itu turun ke bawah,” titah pria itu lembut.
Wika hanya mengangguk, kemudian ayahnya keluar kamar, tak lupa menutup pintu.
Duduk di tepi tempat tidur, lalu membuka baju. Jika boleh jujur, Wika tak ingin bertemu Gerald hari ini. Entah angin apa yang membawa lelaki itu hingga bisa sampai ke sini.
Setelah selesai berganti pakaian, dia memutuskan turun ke lantai bawah, tak lupa menggenggam ponsel di tangan. Bunda sudah menyambut dengan senyum merekah, sedang Gerald tetap pada mode datar.
“Gerald bawain kamu bubur,” kata sang bunda, sambil mengangkat kantong plastik, “ya udah, kamu makan, sana.”
Ah, baiklah. Sepertinya Wika tidak akan sembuh hingga satu bulan lamanya. Bertemu Gerald saja sudah membuatnya tambah sakit, apalagi harus memakan makanan dari lelaki itu. Sungguh terlalu.
Wika mengambil kantong plastik itu, kemudian berbalik menuju dapur. Belum sempat melangkah jauh, ucapan sang bunda membuatnya hampir mengeluarkan bola mata.
“Gerald temani Wika makan, ya,” pinta wanita itu pada Gerald.
Sial! Apa lagi ini?
“Iya, Tante,” turut Gerald.
“Ah, jangan panggil Tante, panggil Bunda aja biar sama kayak Wika.”
Tuhan! Wika tak sanggup lagi jika terus mendengarkan percakapan mereka. Segera diputuskannya menuju dapur, berlama-lama di sana hanya akan membuatnya pingsan.
Segera dia mengambil tempat di meja makan. Di detik kemudian, Gerald duduk di sebelahnya. Ingin protes pun tak bisa. Mengusir lelaki itu sudah pasti akan membuat sang bunda mencoretnya dari kartu keluarga.
Tangan Wika mulai bergerak melahap bubur. Kebetulan sekali perut sudah minta diisi. Karenanya, untuk saat ini dia harus bersyukur dengan apa yang dibawakan Gerald.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tunanganku bukan Cintaku (TAMAT) ✓ #3
RomanceSpin-off: Pressure (Gerald Izzatul Arkana) -- Kehilangan seorang kekasih tanpa ucapan selamat tinggal adalah sebuah perpisahan yang sangat menyakitkan. Tanpa sengaja, Wika membuat Tomi terluka karena perjodohan yang diputuskan oleh orang tua. Ketika...