Kekesalan Wika tak pudar sejak meninggalkan rumah Pak Purnomo. Kali ini bukan karena menunggu si kakek tua itu, tetapi karena yang ditunggu tak kunjung datang. Sial! Beliau terbang untuk menangani bisnisnya di luar negeri.
Dasar! Wika kesal bukan main. Pria tua itu hanya menitipkan tiket liburan mereka serta kebutuhan lain kepada asistennya. Jika seperti itu, untuk apa menyuruh Wika dan Gerald datang ke rumahnya?
Di mobil, tidak henti-henti Wika mengumpat dalam hati. Yah, jika saja sekarang Gerald sedang tidak bersamanya, sudah pasti kekesalan ini akan menggema keluar dari mulut.
"Lain kali gue nggak mau diajak ke rumah kakek lo lagi," tandas Wika saat mobil sudah berhenti di depan rumah.
"Hm." Gerald hanya bergumam, entah apa maksudnya.
Wika segera keluar dari mobil, disusul Gerald yang juga ingin menemui orang tuanya. Katanya, lelaki itu akan membicarakan lagi tentang liburan ini, karena mereka mendapatkan tiket lebih. Dasar orang kaya.
Lokasi liburan besok adalah Raja Ampat, Wika yang memilih itu saat pertama kali ditawarkan oleh si pak tua kaya raya tersebut.
Sebenarnya hanya asal saja, siapa tahu Purnomo tak setuju—dan lebih memilih luar negeri sebagai tujuan. Harapan Wika runtuh saat beliau mengatakan "boleh juga". Astaga!
Kegeramannya pada keluarga Gerald tidak akan berujung. Memang benar, Wika merasa seperti putri saat ini. Antar-jemput ke kampus, belum lagi pakaian mahal pemberian orang tua Gerald, dan liburan gratis.
Namun, segala pemberian itu tidak akan bisa membuat hatinya merasa damai sedikit pun, karena masih berhubungan dengan Gerald. Entah apa salah dan dosa lelaki itu.
"Assalamu'alaikum." Wika menginjak ruang tamu rumah.
Salamnya tak dibalas oleh siapa pun, sampai Wika duduk di sofa untuk membuka sepatu. Gerald bersandar di bingkai pintu sambil menatapnya yang sibuk.
"Kalau mau ngomong, ngomong aja. Repot amet," tukas Wika pada lelaki itu.
Tentang pengakuan Gerald, Wika menolak mentah-mentah dengan alasan penyakit menularnya. Gerald tak membantah sedikit pun, hingga dia mendapat kesimpulan bahwa benar, tunangannya itu mengidap HIV.
"Nggak, semua udah jelas," kata Gerald yang tak diindahkannya.
Wika berdiri hendak melangkah masuk ke dalam rumah, jika matanya tak menangkap secarik amplop yang berada di atas meja ruang tamu. Tangan Wika menggapai surat tersebut, ayahnya pasti melupakan ini.
Segera dibaca maksud dari surat itu dikirim pada sang ayah. Bukan karena ingin tahu, tetapi akan lebih baik seperti ini—agar bisa diingatkannya Erwin—untuk tidak sembarangan menaruh benda penting.
"Gue balik, bilang ke orang tua lo."
Ucapan Gerald kembali tak Wika indahkan saat tahu apa tujuan dari surat ini dikirim.
Kakinya segera melangkah ke dalam rumah dengan tergesah.
"Ayah!" teriak Wika sejadi-jadinya.
Wika terus mencari pria itu. Saat kaki mencapai tangga, badannya seketika berbalik karena merasakan kehadiran sang ayah yang hari ini telah dia ditetapkan sebagai pemusnah kebahagiannya.
Entah drama apa lagi yang akan terjadi, sudah cukup kebohongan ini disembunyikan darinya.
"Ini apa?" Suara Wika memekik hingga terpantul pada ruangan.
Ayahnya diam tak membalas. Mata Wika menatap beliau, dan siap berontak kapan saja.
Gerald ada di sini, biarkan saja lelaki itu menyaksikan kegilaannya, hingga memutuskan untuk pergi sejauh mungkin dari hidupnya. Wika muak dengan kisah ini.
"Ayah yang bunuh Tomi?"
Ya, meskipun belum pasti, tetapi dengan status sang ayah sebagai saksi, tidak menutup kemungkinan beliau juga ambil andil dalam masalah ini.
"Lo nuduh ayah lo?" Gerald bereaksi.
"Diam!" Wika membentak Gerald, urusannya bukanlah dengan cucu konglomerat tersebut.
"Ayah, jawab!" paksa Wika.
Pria itu mendekat dengan tatapan lembut khas orang tua pada umumnya. Tidak, kali ini Wika tidak akan terhanyut lagi. Sudah cukup perjodohan ini menyiksanya, tidak lagi dengan kepergian Tomi yang ternyata disebabkan oleh sang ayah. Wika sangat tak bisa dimaafkan ini.
"Kamu salah paham, Wika."
"Nggak! Ayah emang benci sama Tomi, 'kan?"
Mengingat itu membuat air matanya mengalir. Perjuangan Wika dan Tomi terhenti karena kepergian kekasihnya itu. Wika tidak menyangka bahwa ini adalah perbuatan sang ayah.
"Ayah nggak benci dia, tapi Ayah sayang sama kamu, makanya Ayah—"
"Bohong!" Wika membentak lagi.
Suara langkah mendekat. Seketika tangannya disambar, tatapan pada sang ayah ditutupi oleh tubuh pelaku. Gerald menengahi mereka.
"Gue yang jelasin," ucapnya dingin tak terbantahkan.
Wika menghempas genggaman lelaki itu yang memegang tangannya. Gerald juga ikut di dalam masalah ini.
Untung saja Wika belum sempat jatuh lebih jauh sebelum mengetahui semuanya. Perjodohan akan dia batalkan secara sepihak, jika benar Gerald juga bersalah.
"Ayah lo cuma jadi saksi karena saat kejadian dia juga ada di sana," jelas Gerald.
"Mana buktinya?" tantang Wika karena tak percaya.
"Gue, gue juga ada di sana."
Bibir Wika membentuk seutas senyum karena fakta tersebut. Ini konyol, ayahnya bersekongkol dengan Gerald yang saat itu masih berstatus calon tunangan.
"Segitu cintanya lo ke gue?" sindir Wika.
Ekspresi Gerald berubah sendu. Wika baru tahu, jika lelaki itu benar-benar menginginkannya. Maaf, ini sudah tidak benar.
Gerald seperti budak cinta yang akan melakukan apa pun, termasuk membunuh kekasihnya.
"Gue nyelamatin lo, harusnya lo hargai itu."
"Dengan cara membunuh Tomi?" tanya Wika.
"Gue nggak bunuh dia, ayah lo juga nggak. Kecelakaan itu murni terjadi karena Tomi sedang mabuk," kilah Gerald yang membuat Wika menggeleng takjub.
Bisa-bisanya dia menuduh yang tidak-tidak pada Tomi. Wika lebih mengenal kekasihnya ketimbang Gerald—yang saat ini dengan entengnya mengatakan hal yang sangat sulit dipercaya tentang Tomi.
"Gue pikir lo udah dewasa buat pahamin ini," kata Gerald.
"Gue pikir lo juga udah dewasa udah pahamin ini, kalau yang lo lakuin ini salah! Kenapa harus bunuh Tomi?"
"Nggak ada yang bunuh dia!" bentak Gerald padanya.
Sampai di sini, Wika sudah mengetahui seperti apa aslinya Gerald. Ini pertama kali terjadi, lelaki itu membentaknya—hanya karena tak ingin kebohongan ini terbongkar.
"Gue benci lo," ucap Wika hampir bergumam.
Wika meninggalkan tempat itu dengan melempar surat tersebut. Membantah pun tak akan menang, segalanya telah tertutupi.
Pasrah. Iya, Wika akan menunggu sampai kebenaran terungkap. Kapan lagi bisa melihat Gerald si sombong mendekam di penjara, termasuk ayahnya. Mereka harus mendapatkan ganjaran yang pantas untuk perbuatan tak terpuji itu.
Wika malu, ayahnya juga ikut terlibat. Beliau melakukan itu semua dengan alasan kebahagiannya, tanpa memikirkan ganjaran di masa depan nanti.
Wika tak habis pikir, senyum yang tiap hari terlihat tulus padanya, ternyata menyimpan rahasia tentang kepergian sang kekasih.
Untuk Gerald, padahal kepercayaan Wika mulai tumbuh meskipun masih dihiasi kebencian. Namun, saat mengetahui ini, segalanya runtuh tanpa tersisa.
_____
05.08.20
😵😵 Ngedit saat kondisi rumah yang berisik. Maaf, kalau masih ada kalimat yang gak nyambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tunanganku bukan Cintaku (TAMAT) ✓ #3
RomanceSpin-off: Pressure (Gerald Izzatul Arkana) -- Kehilangan seorang kekasih tanpa ucapan selamat tinggal adalah sebuah perpisahan yang sangat menyakitkan. Tanpa sengaja, Wika membuat Tomi terluka karena perjodohan yang diputuskan oleh orang tua. Ketika...