32. Si Keras Kepala

640 73 3
                                    

Duduk di karpet di ruang keluarga, sambil menulis di atas meja, Lia tahu kesibukannya sedang diperhatikan oleh sang suami.

Edgar duduk di sofa sampingnya sambil meladeni kedua buah hati mereka. Belum ada tanggapan keluar dari mulut pria berusia 27 tahun itu. Lia juga tidak ada niat mengatakan apa pun, jika suaminya tidak lebih dulu bertanya.

Ya, Lia sedang menulis daftar tamu yang akan diundang di pernikahan Gerald nanti. Edgar pasti sudah tahu hanya dengan memposisikan diri sebagai penonton saja.

"Banyak undangannya?" tanya Edgar.

Lia membalas dengan anggukan dan gumaman. Setelah ini, Edgar pasti akan bertanya lagi tentang kondisi calon adik iparnya sekarang.

Wika sedang mengandung anak Gerald, itu yang Lia tahu sekarang. Wajar, jika kedua insan tersebut melakukan hal nekat. Jika saja Edgar tidak menentang hubungan mereka, semua akan baik-baik saja.

"Wika gimana?" tanya Edgar lagi.

Lia menoleh, lalu menghela napas. "Masih nggak bisa terima?"

Edgar malah menoleh ke tempat lain untuk menghindari tatapan matanya. "Terima, kalau Wika bukan perempuan pilihan kakek."

"Sudah tiga tahun berlalu, loh, Mas. Emang nggak bisa diterima apa? Wika juga sekarang lagi hamil anak Gerald, keponakan Mas."

Terlihat, wajah itu begitu tak enak dipandang. "Kenapa nggak diperiksa dulu ke dokter?"

Lia berdecak. "Masih untung Gerald ngaku, kalau dia diam aja dan nunggu perut Wika besar, gimana?"

"Ya, kalau gitu malah bagus, biar kelihatan benar atau tidaknya Wika hamil. Lagian, nggak mungkin banget Gerald ngelakuin hal serendah itu." Edgar tetap teguh pada pendirian.

Lia sangat gemas dengan pikiran suaminya. Dia kembali memfokuskan diri untuk menulis satu persatu nama orang lagi.

Menanggapi Edgar tidak akan berujung ke sebuah penyelesaian. Malah, pria itu akan membuat masalah baru.

Padahal, tinggal terima saja. Lia bahkan sangat bersyukur Gerald bisa menemukan Wika. Walau cara mereka bertemu sudah diatur oleh keluarga, memang kesannya paksaan. Namun, itu tidak menjadi alasan cinta keduanya tidak bisa tumbuh.

Gerald bisa melangkah ke jalan yang lebih baik. Ini bukan pertama kalinya lelaki itu mengaku bahwa pacarnya hamil.

Lia memejamkan mata sejenak. Bayangan masa lalu itu ada. Dia bisa lihat bagaimana ibu mertuanya hancur. Menyembunyikan fakta itu dari ayah dan juga anggota keluarga lain termasuk Edgar.

Apa-apaan dengan jiwa kesatria Gerald yang akan bertanggung jawab dengan calon bayi yang bahkan bukan dari darah dagingnya.

"Kenapa?" tanya Edgar. Pria itu mungkin melihat tingkah Lia yang berubah.

Lia menggeleng. "Nggak, cuma ingat masa lalu aja."

"Masa lalu?"

Mengangguk. "Tentang Gerald." Tidak ada tanggapan dari Edgar, membuat Lia menoleh lagi pada pria itu. "Ini kedua kalinya Gerald mengaku pacarnya hamil."

Suara benda jatuh terdengar dari arah pintu. Keduanya segera menoleh. Wika berdiri di sana dengan wajah yang tak bisa diartikan.

Sadar sedang dipandangi, perempuan itu kemudian menunduk dan mengambil kunci mobil yang tadi jatuh ke lantai.

"Wika," sapa Lia sambil tersenyum. Menyembunyikan rasa tak enak hati.

Dia tahu, Wika mungkin mendengar apa yang sedang diobrolkan olehnya dan suami, hingga membuat perempuan itu terlihat tak nyaman.

"Sini." Lia mengajak, agar Wika mendekat. Yang diajak menuruti, melangkah sambil menunduk. "Gerald udah bilang, ya, hari ini ke butiknya bareng Mbak Lia?"

Wika mengangguk. "Iya."

Lia membalas dengan senyum. "Makasih udah jemput Mbak." Dia menepuk sofa di belakangnya. "Duduk dulu, bentar lagi kerjaan Mbak selesai, kok."

Wika menuruti. Kemudian, Lia beralih pada sang suami yang kini hanya bisa diam dengan wajah kaku itu.

"Mas, bisa ambil tanggung jawab ini? Aku mau nemenin Wika ke butik."

Edgar menghela napas. Itu membuat perempuan di samping Lia dikuasai kecanggungan.

"Nggak apa-apa, Bang, biar Wika aja." Wika segera berucap.

Lia berdiri dari duduk. "Kamu, kan, harus ke butik bareng Mbak. Udah, biarin aja Abangnya yang ngerjain ini. Dia juga lagi nganggur."

_________

Duduk di sofa yang tersedia di sudut butik, Lia memperhatikan Wika yang kini sedang melangkah pelan untuk memilih salah gaun yang ada di sana.

Lia mengeluarkan ponsel melihat foto dari konsep yang akan diambil untuk pernikahan adik iparnya nanti. Ya, tujuannya, agar dia bisa menyelaraskan dengan gaun yang dipilih oleh Wika.

"Marun kayaknya keren, deh, Wi." Lia memberikan saran.

Langkah Wika terhenti, lalu menoleh padanya. Wajah itu terlihat tak bersemangat.

Sejak keluar dari rumah tadi, Wika terus saja bersikap seperti ini. Bahkan, perempuan itu kebanyakan melamun saat menyetir mobil. Padahal, Lia sudah berusaha mengajak bicara.

"Yang semangat, dong. Kan, mau nikah." Memutuskan untuk berdiri, lalu melangkah ke arah Wika. "Kamu kenapa?"

Sengaja bertanya, agar Wika melepas kerisauan hati itu. Dia tak ingin melihat wajah cantik tersebut tak enak dipandang.

Menghela napas. "Aku nggak hamil, Mbak." Sedikit merengek.

Lia tertawa samar. "Yang bilang kamu hamil siapa?"

Jangan katakan Lia tak tahu rencana Gerald. Ini sudah mereka atur bersama ibu mertuanya. Bahkan ayah mertuanya juga setuju. Ya, hanya untuk mengelabui Edgar.

"Tadi aku dengar, Mbak—"

Lia meletakan telunjuknya di depan bibir Wika. "Itu cuma sandiwara di depan Bang Edgar."

Wika bungkam. Perempuan itu menggigit bibir bawah untuk menahan tangis. Tak sanggup melihat hal tersebut, Lia membawa Wika ke pelukannya.

Ini pasti sulit dijalani. Wika harus berpikir keras akan memasang ekspresi seperti apa di depan keluarga Gerald. Terlebih, pada Edgar. Malu? Tentu saja.

"Jangan khawatir, setelah ini semua akan baik-baik saja. Bang Edgar nggak bakalan bisa protes lagi dengan hubungan kalian." Lia melepas pelukannya.

Wika sudah menangis, pertahanan tadi rupanya gagal. Lia segera menghapus air mata itu. "Berat banget, ya?"

Wika mengangguk. "Takut sama Bang Edgar."

Lia tersenyum. "Habis nikah, kamu juga nggak bakalan tinggal seatap sama Bang Edgar. Gerald bakal bawa kamu ke rumah baru kalian."

Ya, Lia meyakinkan Wika, karena memang itu yang akan terjadi. Dia dan Edgar masih tinggal bersama orang tua dari Edgar, karena memang tak diizinkan punya rumah dulu, sampai Segaf kembali dari pendidikannya di luar negeri.

Kata mertuanya, rumah akan sepi. Apalagi, anak yang tersisa hanya Gerald. Adik iparnya itu paling banyak diam.

"Udah, nggak usah sedih." Lia mengelus kepala Wika.

Sebenarnya, langkah yang diambil Gerald sudah tepat, tetapi efek paling berat ada pada Wika.

Ah, tidak. Semuanya akan berjalan lancar, jika Edgar tidak bersikeras menentang hubungan ini.

Sepertinya, Lia harus lebih berusaha lagi menyakinkan Edgar. Mendobrak kokohnya pertahanan itu, agar semua berjalan lancar sesuai rencana.

Harus menunggu berapa lama lagi untuk sebuah pernikahan? Padahal, sudah lewat tiga tahun, Gerald dan Wika bertunangan.

______

22.04.22

Tunanganku bukan Cintaku (TAMAT) ✓ #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang