"Sampai ...," seru Wika untuk membuat girang gadis kecil yang sedang dia tuntun. Gia. Di belakang ada Gerald dan juga Gio.
Mereka baru saja kembali dari super market. Gerald sudah sembuh. Itu semua berkat kepala batunya yang selalu menolak untuk ke dokter—bisa dihancurkan.
Siapa sangka, jika lelaki itu terserang demam berdarah. Selama empat malam berada di rumah sakit, Wika bisa bernapas lega karena Tante Nadine terus mengawasi Gerald. Paling tidak, lelaki itu tak akan bisa bergerak menghubungi Tamara lagi.
Saat Wika mengatakan kesyukurannya, Gerald hanya membalas, bahwa dia peduli pada Tamara—saat perempuan itu hidup sendiri di kota ini. Sekarang, tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan, mama dari Tomi mau mengakui Tamara.
Setelah keluar dari rumah sakit, Gerald bersemayam di dalam rumah selama tiga hari. Rasa bosan tentu akan menyerang. Untuk itu, Gerald mengajak Wika dan dua keponakannya keluar sebentar, hanya demi menghibur hati.
Tangan Wika dilepas oleh Gia, anak perempuan itu berlari ke dalam rumah dengan girangnya. Gio menyusul dari belakang.
"Nggak ikutan?" tanya Gerald.
"Enak aja, emang aku anak kecil?" sewot Wika.
"Siapa tahu aja." Gerald berjalan lebih dulu.
Saat sampai di ruang keluarga, mereka berdua menghentikan langkah karena melihat tamu istimewa sedang duduk bersama Om Erik.
Pria paruh baya itu tersenyum pada keduanya. Si kakek tua menyebalkan, Pak Purnomo.
"Yuk, yuk," panggil Gia pada mereka.
Wika melirik gadis kecil itu. Jelas, keduanya belum mengerti situasi yang sedang terjadi. Ada seorang yang lebih tua datang ke sini, haruslah dihormati dan tidak ditinggalkan begitu saja.
"Yuk ...." Gio ikut memanggil.
"Nih." Gerald memberikan kantong belanja pada Wika.
Dia terima. Ini sebuah kode agar Wika ikut dengan kedua bocah itu, sedang Gerald akan duduk bersama dua pria tersebut. Ah, menyebalkan. Padahal, dia pikir sampai di rumah, mereka akan menghabiskan waktu bersama—untuk memakan hasil belanjaan ini. Ternyata, si pak tua menghalangi keinginannya itu.
Lagi pula, ke mana Edgar? Apa dia sudah keluar rumah? Dasar, lelaki sibuk.
Jujur saja, Wika bingung akan membawa dua bocah ini ke mana. Ke lantai atas? Yang benar saja, mereka ada dua kepala. Lagian, dia tidak ingin bolak-balik hanya demi menggendong mereka satu per satu.
Daripada pusing, lebih baik Wika yang mengikuti keduanya. Langkah anak kembar itu menuju teras belakang rumah. Wika setuju saja, selama itu tidak menaiki tangga.
"Eh, udah pulang." Suara sambutan dari seseorang.
Wika yang baru saja keluar pintu, bisa dilihat siapa yang ada di sana. Edgar dan Lia.
Sedikit membingungkan. Edgar masih ada di rumah, mengapa pria itu tidak ikut bergabung dengan mereka? Jika dipikir-pikir, Wika tidak pernah melihat interaksi antara Edgar dan Pak Purnomo.
Padahal, Edgar adalah cucu laki-laki tertua di keluarga mereka. Ada lagi, harusnya dia yang ditunjuk sebagai penerus perusahaan kakeknya. Mengapa jadi Gerald?
"Gerald?" tanya Edgar pada Wika.
"Bareng Om sama Pak Purnomo," jawab Wika sambil duduk di samping Lia.
Edgar berdecak. Wajahnya berekspresi tak suka.
"Apa, sih?" Lia menegur suaminya.
"Tahu sendiri, kakek itu gimana. Banyak maunya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tunanganku bukan Cintaku (TAMAT) ✓ #3
RomanceSpin-off: Pressure (Gerald Izzatul Arkana) -- Kehilangan seorang kekasih tanpa ucapan selamat tinggal adalah sebuah perpisahan yang sangat menyakitkan. Tanpa sengaja, Wika membuat Tomi terluka karena perjodohan yang diputuskan oleh orang tua. Ketika...