Pagi hari, Wika sarapan di meja yang sama dengan Gerald. Lelaki itu menepati janji untuk menjemputnya agar mereka ke kampus bersama. Meskipun terlalu cepat datang menjemput. Alasannya, takut bahwa Wika masih tidur seperti kemarin yang harus dibangunkan dulu.
Sangat menyudutkannya. Walaupun hampir tak tidur semalaman, bukan berarti melupakan hari ini adalah kewajaran. Hidup dan mati dipertarukan di sini. Terlambat dan tak mengikuti ujian pertama, tidak bisa dimungkiri bahwa tahun depan dia akan mengulang lagi.
"Pulang kampus nanti gue main basket dulu bareng teman-teman," kata Gerald membuka percakapan mereka, "kalau lo nggak mau nunggu—"
"Iya," interupsinya, "gue tungguin."
Sebenarnya, Wika juga malas di rumah. Uring-uringan di kamar membuatnya bosan, terlebih harus mendengar ceramah sang bunda. Lebih baik menunggu Gerald bermain basket sambil belajar untuk ujian besok. Meskipun di sana pasti Wika akan mendapatkan banyak pertanyaan dari teman-teman Gerald.
"Udah, yuk." Gerald ikut berdiri karena ajakannya.
Keduanya segera bergegas ke kampus. Sang bunda sedang menyiram bunga di teras rumah. dia dan Gerald berpamitan.
Wanita itu terlihat senang melihat keakraban mereka. Padahal, jika Wika menceritakan apa yang terjadi kemarin, sudah pasti bundanya dengan segera akan menikahkan dia dan Gerald.
Sepi. Tak sama seperti kemarin saat mereka berduan saja. Bukan berarti Wika menginginkan untuk melakukannya lagi. Namun, dia pun tak ingin mobil yang mereka kendarai terasa senyap seperti kuburan.
Ingin memulai pembahasan, tetapi Wika tak tahu harus berawal dari mana. Lelaki itu seperti tak memiliki beban sama sekali, setelah membuatnya acak-acakan di atas tempat tidur kemarin. Wika memutuskan untuk menyalakan radio. Sebenarnya, ini bukan pilihan yang tepat, mengingat bahwa kegiatan mendengarkan suara orang tanpa gambar, bukanlah seleranya.
"Jangan terlalu keras," protes Gerald karena keisengan Wika yang menaik turunkan suara radio.
Dia kembali mencari perhatian Gerald, daripada harus dilanda bosan. Lelaki itu berdecak tak suka, membuat sirene kemenangan menggema di hati Wika.
Getaran ponsel membuat Wika mengalihkan perhatian ke arah tas yang ada di pangkuan. Segera diraihnya benda kotak itu kemudian melihat isi kabar di sana.
Keting: Jam Bu Dike dipindah sore.
Setelah membaca itu, Wika mengerang dalam hati. Itu mata kuliah pertama yang akan dia ikuti.
Sungguh sial! Jika tahu seperti ini, Wika masih bisa bersantai di rumah tanpa merasakan kesunyian di dalam mobil. Menurutnya, lebih baik sendirian ke kampus daripada bersama seseorang, tetapi seperti patung hidup.
"Kenapa?" tanya Gerald yang pasti sudah tahu bahwa Wika sedang kesal sampai memukul tas.
Dia menoleh. "Jamnya dipindah sore."
"Oh."
Ya, hanya seperti itu. Double sudah kekesalan Wika di pagi ini.
"Balik rumah, deh," titahnya dengan kekesalan yang mencapai ubun-ubun.
"Bentar lagi gue ujian."
Mendengar itu, Wika hanya bisa pasrah di tempat. Sudah bisa dipastikan, hari ini dia akan seharian berada di kampus.
"Hari ini gue ada dua mata kuliah, pagi dan siang," kata Gerald. Padahal, Wika tak bertanya tentang itu.
Menghargai saja sudah cukup. Ini sebuah informasi agar dia bisa terus menumpang di mobil Gerald. Gratis itu indah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tunanganku bukan Cintaku (TAMAT) ✓ #3
RomanceSpin-off: Pressure (Gerald Izzatul Arkana) -- Kehilangan seorang kekasih tanpa ucapan selamat tinggal adalah sebuah perpisahan yang sangat menyakitkan. Tanpa sengaja, Wika membuat Tomi terluka karena perjodohan yang diputuskan oleh orang tua. Ketika...