"Kita pisah aja ya?"
Tidak ada yang salah dengan perkataan itu. Hanya saja aku bisa melihat keterkejutan Xavi setelah mendengar pertanyaan atau lebih tepatnya pernyataan itu dari mulutku ini.
Inilah keputusanku yang sudah kupikirkan matang-matang. Tidak mudah mengambil keputusan itu. Benar saja 'pisah' bukan hal yang mudah. Tapi jika dengan pisah Xavi berserta keluarga besarnya bisa bahagia, why not? Jika dengan berpisah Xavi bisa mendapatkan keturunan dari perempuan lain, ya kenapa tidak? Tidak ada yang tidak bisa kulakukan untuk kebahagiaan Xavi dan juga (bukan) kebahagiaan ku.
"Berpisah bukan jawaban dari masalah. Kita bisa menggunakan cara bayi tabung." Xavi semakin mengeratkan pelukannya.
"Tidak, aku tidak mau berharap dengan bayi tabung. Karena itu pasti akan gagal sama seperti guru SMA ku dulu, bahkan ibu itu sepertinya sudah mau melahirkan kurang lebih satu bulan lagi, namun di detik-detik akhir tersebutlah semuanya gagal dan tidak ada hasil apapun yang ada uang lah yang sudah habis." Aku menghela nafas panjang mengingat betapa senangnya guruku tersebut saat hamil namun beberapa Minggu lagi ibu itu sudah kembali seperti semula tidak ada lagi senyum di wajahnya.
"Jika gagal, kita lakukan lagi. Tidak ada salahnya mencoba bukan?" Ada nada memohon disana.
Aku berusaha tenang, tidak keputusanku ini tidak boleh diganggu gugat. Sekali a tetap a.
"Baiklah, kalau kau ingin mencoba bayi tabung, mengapa kita juga tidak mencoba untuk berpisah? Kau bisa mencari yang lebih dari aku, yang bisa memberimu keturunan." Karena kenyataannya aku tidak memiliki kelebihan yang ada hanya kekurangan.
"Berpisah bukan jawaban dari masalah kita." Suara Xavi semakin meninggi. Tapi itu tidak berpengaruh besar kepadaku. Aku tida peduli, lagian harusnya Xavi bersyukur bukan dengan keputusan ku? Aku sudah mempermudah jalannya untuk memiliki keturunan.
Ini kali kedua kami ingin bercerai dan tentu saja, ini bukan seperti yang pertama yang mana gagal. Kali ini bener bener akan terjadi, benar benar akan berpisah.
"Keputusanku sudah bulat, jika kau keberatan, kau bisa menyatakan keberatan mu dibagian mana didepan hakim Minggu depan, atau kau bisa berbicara terlebih dahulu kepada pengacara ku. Nanti akan ku berikan kartu namanya padamu. Dan kuharap kau tidak melakukannya, jangan lakukan hal aneh yang membuat proses ini semakin lama." Aku sedikit berbohong sebenarnya, aku belum memiliki pengacara namun aku ada pengacara yang ku kenal, mungkin aku akan menemukannya pagi ini."
"Tidak aku tidak mau melakukan apapun." Ucap Xavi dengan tegas, seolah tidak mau dibantai.
"Sampaikan itu pada pengacara ku." Aku bangkit dan berjalan menuju kamar mandi, tidak peduli dengan tubuh polosku.
-_-_-_-_-_-_-vote-_-_-_-_-_-_-_-
Pertemuan pertama tidak ada yang datang, Xavi baik pengacaranya pun tidak datang. Dan alhasil sidang ditunda sampai 1 Minggu kedepannya. Sungguh Xavi sangat menyebalkan, tadi pagi aku memang tidak melihatnya dirumah ku kira dia sudah pergi duluan ke pengadilan, nyatanya dia tidak ada sama sekali.
Pengacara ku mencoba meyakinkanku bahwa aku tidak perlu khawatir, hal ini sering terjadi pada persidangan.
Sesampainya di rumah aku melihat Xavi menonton televisi, dia duduk dengan santai di sofa tanpa merasa bersalah sekalipun. Ingin sekali aku mengumpatinya namun ku urungkan.
Saat melewatinya aku dengan sengaja menghentakkan kakiku dengan cukup kuat hingga menimbulkan suara, aku melihat dari ekor mataku bahwa dia sedikit tersentak.
Saat menaiki tangga aku berhenti sejenak. "Jika anda tidak bisa datang, setidaknya suruh pengacara mu untuk datang." Setelah mengucapkan kata itu aku melanjutkan langkah ku yang sempat terhenti sebentar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Not ?¿ [END]
Teen Fiction'Perawan Janda (?)' Hmm... kedengarannya tidak terlalu buruk. Setahun lagi... tidak tidak, mungkin hanya 6 bulan lagi, maka gelar itu akan disematkan kepadaku. Start : 10-09-20 Finish : 17-05-22 Follow sebelum membaca ygy #10 perjodohan (01-08-22) ...