?¿ 28

1.8K 111 10
                                    

Beginilah kehidupan, ketika jomblo maka akan ditanya 'kapan punya pacar? Sendiri mulu', setelah punya pacar ditanya 'kapan nikah? Kalian udah lama pacaran nih', setelah nikah ditanya 'kapan punya anak?', setelah punya anak satu ditanya 'kenapa anaknya masih satu? Gak mau nambah?'.

Pertanyaan orang-orang tidak akan ada habisnya. Apakah mereka pernah membayangkan bagaimana jika mereka ada diposisi itu? Aku rasa mereka tidak pernah membayangkan itu. Sama seperti pembuly, mereka hanya ingin sebagai pembuly, tanpa berniat membayangkan bagaimana jika dia yang dibully.

Hari ini hari yang cukup melelahkan, setelah selesai berurusan dengan proses pembukuan salah satu cerita yang ku buat, aku langsung pulang untuk merebahkan tubuhku di kasur kesayangan. Rasanya tubuhku ingin remuk namun, tetap saja aku tidak bisa tertidur.

Sudah satu Minggu yang lalu aku tidak bertegur sapa dengan Xavi dan selama itu juga aku pisah ranjang dengannya. Kadang aku merasa kasian bagaimana kalau dia merasa tersiksa. Tapi aku tidak perduli, aku sudah menyuruhnya mencari pengganti ku.

Aku juga merasa dia sudah mulai mencarinya, terbukti dari beberapa kali dia yang minta izin lembur dan bekerja di luar kota (izin melalui chat), dan tentu saja aku tidak membalas aku hanya membacanya. Aku rasa itu hanya alibinya saja untuk sekedar lembur atau ke luar kota.

Tanpa sadar aku memejamkan mataku, dadaku sesak membayangkan dia yang tidur dengan perempuan lain. Tidak tidak, aku tidak boleh sedih. Ini keputusanku sendiri untuk menyendiri. Bahkan ini sudah satu Minggu namun, aku belum tenang. Bagaimana mungkin aku bisa tenang jika masalah tersebut belum selesai. Masalah ini akan selesai jika aku hamil atau akan selesai jika aku dan Xavi ber-

"Apakah aku sudah bisa menempati kamar ini?" Entah sejak kapan Xavi sudah ada di kamar dan dengan bodohnya aku tidak mendengar suara pintu terbuka.

"Terserah." Aku bangun dan berniat ingin mandi dan berendam, aku ingin merenggangkan otot-otot ini.

Langkah ku berhenti ketika Xavi menahan tanganku saat aku hendak melewati nya. Dari tatapannya aku tau apa yang sedang Xavi inginkan.

"Bolehkah." Tanya Xavi dengan hati-hati. Ingin sekali aku mengatakan 'tentu saja tidak' tapi Xavi lanjut bicara.

"Satu Minggu bukan waktu yang singkat bukan?" Tentu saja tidak. Bahkan satu hari serasa satu tahun untuk ku.

"Aku baru pulang, aku lelah dan ingin berendam. Jangan ganggu aku, jika kau ingin mandi, di kamar mandi yang lain." Tanpa aku perjelas pun, Xavi tau bahwa aku menolak keinginannya.

"Aku sedang tidak ingin memasak, jika kau lapar kau bisa memesannya." Aku menarik tanganku dari genggamannya dan lanjut berjalan ke kamar mandi.

Sebenarnya aku ingin menggunakan kata 'anda', hanya saja ini terlihat bahwa aku masih marah padanya, jika aku menggunakan kata 'kamu', seolah olah aku sudah baik baik saja. Jadi lebih baik menggunakan kata 'kau', ini normal menurut ku, mungkin ini hanya dari sudut pandang ku saja jika menggunakan nama panggilan.

Setelah selesai mandi, tentu saja aku sudah berendam, aku baru ingat aku hanya membawa handuk, kebiasaan ku satu Minggu ini mengingat hanya aku yang menempati kamar ini. Dan aku ingat bahwa Xavi juga sudah kembali ke kamar ini tanpa diminta. Mungkin Xavi juga sedang berendam di kamar mandi lain atau bahkan sedang makan malam.

Aku melilitkan handuk tersebut dan keluar dengan santai. Betapa terkejutnya aku ketika melihat Xavi berbaring di tempat tidur dengan mata tertutup, bahkan dia masih menggunakan setelan kantor. Hm, tampaknya dia tertidur.

Dengan pelan-pelan aku membuka lemari dan tentu saja menimbulkan sedikit suara. Aku melirik Xavi, syukurlah dia tidak terganggu dengan suara yang ditimbulkan lemari. Aku melanjutkan mengambil baju dan masuk kembali ke kamar mandi untuk menggunakannya.

Aku keluar kembali dengan baju tidur, ku akui baju tidur ini cukup tipis tapi bodo amat lah.

Ternyata Xavi belum juga bangun. Aku turun kebawah dan memesan makanan. Benar benar tidak berniat memasak. Aku hanya memesan ayam goreng beserta sambel nya.

Setelah 20 menit berlalu, akhirnya makanan nya sampai.

Aku menyiapkan nasi dan memindahkan ayam tersebut kedalam piring.

"Boleh aku ikut makan?"

"Astaghfirullah, eh astaga." Entahlah aku Nasrani namun ketika aku terkejut aku refleks mengucapkan kata tersebut. Entah darimana muncul nya Xavi, anehnya lagi tidak ada suara menuruni tangga atau apapun itu.

"Terserah." Hahaha, aku tau ini jawaban paling andal yang dimiliki perempuan.

Hanya detingan sendok yang mengisi kesunyian ini. Tidak ada yang berniat memulai pembicaraan, namun aku sesekali melirik Xavi yang terlihat beberapa kali ingin memulai pembicaraan namun kembali diurungkan.

Dengan cepat aku menghabiskan makanan ku, tidak ingin berlama-lama di sekitar Xavi.

"Aku ingin bicara." Ucapan Xavi seketika membuat tanganku yang semula ingin membawa peralatan makan ke wastafel jadi terhenti.

Sebelum menanggapi ucapan Xavi, aku menarik nafas panjang. "Bukannya aku tidak ingin bicara, hanya saja tubuhku benar-benar butuh istirahat. Bisakah besok saja kita berbicara? Aku rasa kau juga lelah setelah seharian penuh bekerja di kantor." Tanpa menunggu jawaban Xavi aku langsung pergi dari hadapannya untuk meletakkan alat makan yang baru saja ku gunakan. Dan dengan secepat kilat aku menaiki tangga tanpa berniat menunggunya selesai makan.

-_-_-_-_-_-_-vote-_-_-_-_-_-_-_-

Pagi yang cerah tidak membuat wajahku cerah. Semalam aku sudah memikirkan segalanya, memikirkan keputusan apa yang akan ku ambil. Dan tentu saja keputusan ini aku sudah memikirkan kebahagiaan Xavi dan juga kebahagiaan ku.

Aku melihat jam dinding ternyata sudah pukul setengah 9. Tunggu, pantas saja aku sulit bergerak, ternyata tangan Xavi memeluk perut ku dengan erat seolah olah aku adalah barang mahal yang perlu dijaga.

Kutatap wajah damai Xavi yang membuat kadar ketampanannya bertambah berkali-kali lipat. Aku cukup merindukan pemandangan ini. Semakin lama memandang wajah Xavi semakin membuat ku yakin dengan keputusan ku itu.

Lama dengan posisi aku yang memandanginya, dengan pelan aku mencoba mengangkat tangan Xavi dari atas perut ku. Namun, dia semakin mengeratkannya. Tentu saja aku langsung tau bahwa dia sudah bangun.

"Lepaskan tanganmu, aku ingin mandi."

"Hmm, tidak. Ada syaratnya.*

"Hah? Aku tidak mau. Lepaskan atau aku akan-"

"Akan apa? Hm, aku tau kamu juga merindukanku." Xavi menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuh kami. Dia melakukannya seperti ingin menutupi hal yang akan kami lakukan selanjutnya dari orang lain. Padahal tidak ada orang lain di kamar ini. Eh, hal apa yang ku maksud?

-_-_-_-_-_-vote-_-_-_-_-_-

Tubuh polos yang berada di bawah selimut membuktikan bahwa aku merindukan segalanya yang berhubungan dengan Xavi.

Setelah tidur lagi dan bangun lagi, aku melihat Xavi juga sudah bangun. Tanpa sengaja mataku bertemu dengan matanya, seolah tidak ada yang mau memutuskan kontak mata itu. Tidak ada yang ingin menyerah dan tidak ada yang berniat memulai pembicaraan.

Kejadian tadi tidak membuat suasana mencair, tidak ada yang berbeda dari suasana kemarin.

Secara bersamaan tanpa terduga, kami menarik nafas dalam dan membuangnya secara bersamaan.

"Ehm, kita pisah aja ya?"

Lama tidak menulis membuat ku lupa bagaimana caranya menulis. Entah sudah berapa bulan, hampir atau bahkan mungkin sudah lebih setengah tahun gak update....
Maaf, lama sudah menggantung cerita ini.

1 vote dan 1 komen dari kalian sangat berarti. Ayoo kalau yang vote makin ningkat, langsung update part selanjutnya, udah ready part 29 nih. Niatnya besok mau update, semakin banyak vote semakin cepat update.

Why Not ?¿  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang