"Kamu anggap kita ini apa kak?" suara Gracio mampu menghentikan langkah Zee yang hendak naik ke lantai atas. Mereka sudah berada di rumah.
Zee menarik nafas dalam. "Aku mau istirahat."
Lagi dan lagi, Zee menghindar.
Gracio memandang kepergian Zee sendu. "Harus dengan cara apalagi?" nada bicara Gracio terdengar prustasi.
"Kamu bicarain ini sama Anin. Siapa tau dia bisa bantu." Shani mengusap sekilas bahu Gracio.
"Kemarin juga aku liat Christy pancing Zee buat cerita. Tapi lagi-lagi anak itu menghindar dan bilang gak papa. Aku malah makin takut kalo dia bilang gak papa padahal sebenarnya dia mendam semua rasa sakitnya."
•••
Makan malam tiba. Semua keluarga sudah berkumpul di ruang makan.
"Kenapa pada liatin aku kayak gitu? Kalian mau minta aku buat cerita tentang rasa sakit aku?"
Zee mendorong piring nya pelan, ia sudah kehilangan selera makan nya. Air mata mulai menetes dari mata nya, membuat semua manusia yang ada di sana terkejut.
"Aku gak tutup mata ketika kalian selalu memandang aku dengan tatapan berbeda. Aku paham sama kekhawatiran kalian, sangat paham. Aku cuma belum siap. Kalo aku siap, aku pasti cerita. Aku gak buta dengan keadaan yang semakin hari semakin memaksaku mundur. Kalian percaya aku kuat kan?" Zee menghapus air mata nya kasar.
Setelah satu bulan lebih bungkam, akhirnya Zee angkat bicara.
Seketika semuanya kehilangan nafsu makan. Semuanya memandang Zee dengan tatapan sulit di artikan.
"Aku lagi berusaha buat berdamai sama diri aku sendiri. Aku berusaha lawan rasa takut aku, aku berusaha lawan semua rasa trauma aku. Iya, semua ini menyiksaku. Tapi, siapa lagi yang akan bener-bener paham sama keadaan ku selain diri aku sendiri? Kalian cukup dukung aku dari belakang. Biarin aku berjuang ya, Mah, Pah?"
Bukan hanya rasa trauma terhadap kejadian yang menimpa nya. Tapi juga tentang rumah.
Rumah yang ia anggap utuh ternyata sudah runtuh sejak lama.
Rasanya akan sangat jahat jika Zee meminta Anin dan Gracio kembali bersama. Akan banyak orang yang tersakiti. Tetapi, sebagai anak, Zee juga ingin memiliki keluarga yang utuh. Bukan kah itu semua impian semua anak?
Berdamai dengan rasa sakit itu sulit.
Zee menggenggam tangan Christy untuk berjalan bersama nya. Sore ini, Zee mengajak Christy untuk berjalan menyusuri tepi danau. Udara nya sejuk, mampu menenangkan hati dan pikiran Zee yang akhir-akhir ini tak tenang.
Langkah keduanya berhenti di bawah pohon rindang. Mereka duduk di atas rerumputan yang langsung menghadap ke danau.
Mata Zee terpejam menikmati sejuknya angin sore yang menerpa wajah nya, dan menyibakkan rambutnya.
Tangan keduanya masih saling mengenggam. Lebih tepatnya Christy yang enggan melepas genggaman tersebut.
"Besok Mamah Anin jemput aku." ucap Zee, menatap wajah samping Christy.
Zee menjatuhkan kepalanya pada bahu Christy. Matanya kembali terpejam ketika tangan Christy mulai mengusap rambutnya.
"Berapa hari?"
"3 hari."
Zee menarik kepalanya dari bahu Christy, mengambil krikil kecil yang ada di dekat nya. Kemudian melempar nya ke danau.
"Aku kangen kejailan kamu, Zoy. Kapan kamu kembali?"
Zee terkekeh kecil. "Aku juga kangen diri aku sendiri. Kepalaku sekarang terasa penuh."
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMAH (Selesai)
FanfictionRumah adalah tempat di mana cinta berada, kenangan diciptakan, teman selalu menjadi milik, dan tawa tidak pernah berakhir. Ini tentang rumah dan beberapa masalah di dalam nya. Note: hanya sebatas karangan penulis. Jangan sangkut pautkan dengan kehid...