letter from Zee.

3.1K 365 51
                                    

Azizi Pov

Jika aku bisa memilih, rasanya aku ingin mati saja di banding harus hidup tersiksa seperti ini. Katakan lah aku lemah. Semua ini memang bukan salah ku, bukan salah papa ku juga, melainkan takdir yang sudah Tuhan gariskan.

Tubuhku rasanya sudah mati rasa, antara lelah dan sakit beradu menjadi satu.

Aku tak pernah membenci papa meski semua ini karena dendam Jinan kepada papa. Aku lebih tak rela lagi jika Papah, Mamah, atau bahkan Christy yang berada di posisi ku saat ini.

Tentang Anin.

Teriakan Anin masih begitu terdengar jelas di telinga ku. Dari tatapan nya, ia terlihat begitu menyayangi ku. Haha, memang nya ibu mana yang tidak menyayangi anak nya?

Semua pertanyaan menumpuk di kepalaku, tentang bagaimana papa dan mama Anin bisa berpisah? Dan kenapa mama Anin tak pernah menemuiku? Ingin ku tanyakan semua nya pada mamah saat itu, namun Jinan hanya memberi ku waktu sekian menit. Rasanya tak akan cukup.

Aku menghela nafas lelah. Memang sudah sangat lelah. Aku sudah berada di ambang kematian. Tubuhku bersandar lemas pada dinding, untuk berdiri saja aku sudah tak mampu. Keadaan ku semakin memburuk, meskipun jika nanti Jinan tak membunuhku. Seperti nya aku akan tetap mati karena tak mampu lagi menahan semua rasa sakit ini.

Aku berharap Tuhan menolongku lewat perantara apapun. Aku ingin keluar dari sini, tapi aku tak ingin melibatkan keluarga ku karena itu akan membahayakan mereka. Itulah kenapa aku tak pernah mau meminta pertolongan meskipun ada kesempatan. Lagi pula, tak akan ada yang bisa menemukan keberadaan ku. Jinan menyembunyikan aku begitu rapat. Katanya dia sudah mempersiapkan penculikan ini selama bertahun-tahun hanya untuk membalaskan dendamnya terhadap papahku.

Aku tak tau aku berada dimana sekarang. Jinan benar-benar mengurungku layaknya aku binatang. Para anak buahnya selalu mengawasiku tanpa lelah, aku muak dengan segala kelakuan Jinan.

Tidakkah pria itu berpikir, bagaimana jika putrinya yang berada di posisiku. Akan se-sedih apa dia? Ah-aku lupa, dendam sudah menguasai tubuh Jinan.

Pintu kamar terbuka, Jinan datang dengan tongkat di tangan nya. Dia pasti akan memukul ku dengan tongkat yang di bawa nya. Biarlah, aku sudah pasrah. Memberontak akan semakin membuat Jinan gelap mata, bisa-bisa tanpa sadar dia membunuhku. Setelah mengingat wajah Shani, aku meralat segala pikiran ku tentang kematian. Bagaimana Shani tersenyum, suara Shani yang lembut. Aku ingin membalas semua jasa nya yang telah membesarkan ku tanpa lelah. Shani adalah ibu tiri bak ibu kandung.

"Apa kabar manis?"

Cih, banyak sekali drama pria tua itu.

"Saya nanya loh, kok diem aja sih?"

Aku menatap tajam Jinan. Buta kah matanya? Kedua sudut bibir ku sobek, sangat perih ketika aku membuka mulut.

"Kenapa kamu menatapku seperti itu?"

Dia sudah berjongkok di depan ku, menaikkan dagu ku. Aku menggeleng agar tangan kotor pria tersebut lepas dari dagu ku.

"Dari semalam kamu tidak makan. Tidak lapar kah?" suara lembutnya membuatku jijik.

Aku menggeleng. Rasanya aku lupa rasa lapar itu seperti apa, karena terlalu banyak nya rasa sakit yang aku rasakan.

"Kamu mendadak bisu?" tatapan nya kembali menajam.

Dan benar saja, beberapa saat setelah bertanya seperti itu. Tongkat melayang mengenai kaki ku, dan itu rasanya sangat sakit. Luka yang kemarin mereka ciptakan belum juga mengering, sekarang harus di tambah dengan luka baru.

RUMAH (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang