23

5 2 0
                                    

"Hai!" Sapanya setelah sampai di meja Renata.

Dengan tubuh yang masih bersender di kursi, Renata mendongak menatap Dewa.

"Ngapain kesini?"

"Gue haus. Gabung, ya?"

"Nggak!" Sahut Renata cepat. "Cari meja lain sana! Ganggu aja!"

Dewa mengeluarkan muka memelasnya. "Yaelah, Nat.. Capek, nih"

"Eh, eh, muka lo biasa aja, dong! Udah jelek jadi tambah jelek!"

Dewa tidak patah semangat. Ia tahu, dibalik ucapan Renata yang selalu bikin sakit hati itu dia memiliki hati yang tidak tegaan.

"Sekali doang, elah!"

Renata mengalihkan tatapannya.

"Boleh, kan?"

"Nggak!"

"Nat.."

Renata berdecak. Kemudian berdehem dengan ogah-ogahan.

Dewa yang mendengarnya langsung tersenyum senang. Karena posisi Renata dan Wira yang berseberangan, jadi ia memilih untuk duduk dengan sudut 90° di sebelah kiri Renata. Namun, ia menggeser kursinya sedikit lebih dekat dengan Renata.

"Ngapain lo deket-deket gue?" Tanya Wira yang sedari tadi menutup mulutnya, dengan tidak suka.

Dewa menoleh. "Kenapa?"

"Gue nggak suka!" ucap Wira spontan yang membuat Renata tiba-tiba saja ingin melompat.

Dewa mengernyit. "Gila lu! Gue juga nggak suka. Gue kan masih normal. Gimana, sih?!"

Senyum Renata luntur. Baru saja tangannya melayang untuk memukul Dewa, cowok itu sudah berbalik dan memegang pergelangan tangannya.

"Mau apa, sayang?"

Wira mengipas-ngipaskan bajunya. Entah kenapa, udara jadi terasa agak panas disini.

Renata menatap Dewa sambil tersenyum. Selanjutnya..

Pletak!

"Aduh!"

"Mau jitak pala lo!" Sengit Renata.

Ia menoleh menatap Wira. "Kak! Ayo pergi!"

Wira langsung berdiri dan membayar minumannya dengan Renata.

"Lah gue gimana?" Tanya Dewa bingung sendiri.

Renata tersenyum. "Mau bareng?"

Dewa langsung mengangguk antusias. "Tapi gimana? Bertiga gitu?"

"Iya. Tapi lo di ban" balas Renata. Lalu melengos pergi mengikuti Wira yang telah selesai membayar minuman mereka berdua.

Dewa melongo mendengarnya. Gadis kejam!

Wira memberikan helm kepada Renata setelah ia menaiki motor ninja merah milik kakaknya yang ia tukar dengan mobil miliknya. Alasannya sederhana. Karena gadisnya, lebih suka berkeliling dengan motor daripada mobil.

"Tunggu, kak" ucap Renata yang sedang mengotak-atik ponselnya. Setelah selesai, ia menerima helm yang diberikan Wira lalu memakainya.

Dengan berhati-hati, Renata memegang pundak Wira dan menaiki motor itu.

Tidak. Renata bukan gadis kurang belaian yang langsung memeluk seorang cowok begitu saja. Bahkan, ia lebih memilih untuk berpengangan pada bagian belakang motor Wira agar tidak salah langkah.

Namun, sesuatu mengejutkannya. Ketika Wira menarik kedua tangannya, dan meletakkannya melingkari perutnya. "Pegangan yang kenceng. Ntar kalo jatuh kan gue yang sedih" lalu motornya melaju begitu saja. Bersamaan dengan Renata yang merasa ingin melompat ke jurang saat itu juga.

RAPUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang