Refleks, semua orang dikelas berdiri dan mencari tahu dimana asal suara yang memekakkan telinga tersebut.
Tidak. Itu bukan teriakan Reygan. Melainkan, teriakan super keras dari luar. Reygan memang kesakitan. Namun, ia hanya berkata, "Renata biadab!"
Renata tak menghiraukannya. Ia mengernyit. Mengapa ia merasa aneh dengan suara teriakan itu?
Beberapa teman sekelas Renata bahkan ada yang menonton pertunjukkan di lapangan basket dari jendela dan pintu. Kenapa lapangan basket? Karena suaranya berasal dari sana.
Renata meletakkan kertas jawabannya di meja guru. Namun, matanya tertuju pada pintu dan jendela kelasnya yang hampir tidak ada celah cahaya karena banyaknya orang yang menonton.
Ia berjalan menuju pintu kelas dengan penasaran. "Minggir, ih! Gue juga pengen liat!" ucapnya kepada beberapa orang disana.
Mereka sedikit menggeser tubuhnya agar Renata juga bisa melihat. Renata mengernyit. Tidak tahu apa yang terjadi.
Di tengah lapangan basket sekolah itu, ada dua anak laki-laki yang nampak terlibat perdebatan sengit. Renata tidak tahu siapa laki-laki di sebelah kanan. Sedang laki-laki disebelah kiri, Renata tidak yakin. Ia menyipitkan matanya. Mencoba meneliti apa benar orang itu adalah Wira.
"Itu kakak cogan bukan sih?" tanyanya kepada orang disampingnya.
"Iya" jawab orang itu.
Renata mengangguk-nganggukkan kepalanya. "Trus, yang dibelakangnya itu siapa?" tanyanya lagi sambil menunjuk seorang gadis dibelakang Wira dan saat ini, ia sedang memegang kepalanya yang pusing.
"Anak kelas XI-IPS 2"
"Siapa namanya?"
"Qaila"
"Siapanya kakak cogan?"
"Mana gue tau, Maemunah! Emang gue Tuhan bisa tau segalanya!"
Renata sedikit menundukkan kepalanya. Ia mengetuk-ngetuk dagunya beberapa kali menggunakan jari telunjuk. Menunjukkan sikap bahwa saat ini, ia sedang berpikir.
Renata mengernyit tidak mengerti ketika mendengar teriakan-teriakan dari beberapa orang disana.
"... Astaga gue pengen..."
"... Ngga kuat gue..."
"... Eh, itu pacarnya ya? Ya ampun beruntung banget..."
"... Mimisan gue..."
"... Buang dedek ke rawa-rawa, bang..."
"... Aaaa! Hamil onlen gue..."
"... Eh, gila! Kalo tau gini, gue rela pingsan tujuh hari tujuh malam..."
Seolah sudah di setting, kepala Renata dengan cepat menoleh kearah lapangan tempat Wira berdebat tadi. Yang dilihat Renata saat ini di tengah lapangan dan membuat orang-orang disana memekik adalah, Wira yang mengangkat tubuh gadis yang tadi dibelakangnya. Entahlah. Gadis itu tampak terkulai lemas di gendongan Wira. Sepertinya, ia pingsan.
Dan, yang bisa Renata lakukan hanyalah menggigit kukunya dengan iri. Lalu, mendongak ke atas dan berkata, "ya Tuhan... kenapa cobaannya begitu berat?"
Renata ingin di posisi gadis itu. Berada di gendongan Wira yang saat ini membawanya menuju UKS dengan tergesa-gesa dan menatapnya dengan tatapan yang sangat lembut. Tidak seperti biasanya. Namun, tatapan yang sama ketika Wira mengobati kakinya di taman kota beberapa hari yang lalu.
Sebenernya, hubungan mereka apa sih?! batin Renata.
Karena guru dikelasnya mengintruksikan pada murid dikelas Renata untuk segera masuk kelas, Renata memilih untuk menurut. Memasuki kelas dengan raut wajah murung dan bahunya turun. Persis seperti orang yang tidak punya tujuan hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH
Teen Fiction"Ketika mereka yang kita anggap selalu merasa bahagia, ternyata bertolak belakang dari kenyataannya." Mungkin ini sebuah definisi, yang terkadang bisa salah jika kita hanya melihat dari sampulnya saja. Maka, gali lebih dalam lagi. Apa yang tersembun...