19

124 11 6
                                    

Renata menepuk-nepukkan kedua telapak tangannya. "Aa!" pekiknya ketika sayatan duri di tangannya kembali terbuka.

Wira yang tadi pergi mengambil kotak P3K untuk Renata, kini kembali. Menghampiri gadis yang tengah duduk di sebuah kursi panjang tepat dibawah pohon rindang.

"Masih sakit, Nat?"

Renata mengangguk.

"Kok bisa?"

Renata hanya diam menatap ke bawah, kearah tanah. Jika ia menjelaskannya ke Wira, yang ada malah kena omel karena ceroboh.

Terdengar helaan napas dari Wira. Ia berjongkok didepan Renata dan membuka kotak P3K. Mengambil kapas dan betadine, lalu meraih tangan Renata untuk ia obati.

Ia melakukannya sepelan mungkin. Agar gadis didepannya ini tidak kesakitan.

"Au!" ringis Renata ketika Wira menekan lukanya.

"Eh, aduh.. sakit?" panik Wira sambil mengelus-elus tangan Renata. Ia lalu mendongak menatap gadis itu.

Tatapan Wira terlalu berarti bagi Renata. Membuat pikirannya hilang kendali.

Renata mengalihkan tatapannya, menghindari tatapan Wira. Sedang cowok itu, kembali menunduk dan lanjut mengobati tangan Renata.

Wira kembali berdiri, setelah selesai melakukan pekerjaannya. Ia menatap gadis itu, lalu menepuk pelan kepalanya. "Sakit, ya?"

Renata hanya mengangguk.

"Lain kali jangan ceroboh. Kalo nggak mau gue kasih betadine lagi. Ngerti nggak, nona Renata?"

Renata mengangguk.

Wira tersenyum. Ia mengacak pelan rambut Renata. "Anak pinter" lalu melangkahkan kakinya pergi dari sana.

Renata menatapnya kaget. Kemudian, ia menepuk-nepukkan pipinya. "Sadar Renata... jan sampe khilaf. Jangan sampe!" peringatnya pada diri sendiri.

Sedetik kemudian, ekspesinya berubah seperti anak kucing. Unyu. Senyumnya mengembang lebar, dan kedua tangannya menangkap wajahnya. "Uwh... kakak cogan sweet bangeett!"

***

Riuh suara tepukan tangan dari penonton pensi pada malam itu semakin menghangatkan suasana. Dengan senyum lebar dan tepukan tangannya. Renata menatap MC didepannya.

Kini, acara yang paling Renata tunggu-tunggu dari sebuah perkemahan.

Api unggun.

Dimana orang-orang mempersembahkan bakat mereka, yang nanti akan disambut hangat oleh tepukan tangan kagum, atau tawa karena canda yang dibuat untuk mencairkan suasana.

Kali ini, Renata tidak bisa melemaskan otot wajahnya. Tanpa jeda, ia melengkungkan bibirnya keatas. Menikmati setiap pertunjukkan yang berlangsung didepannya. Sekalipun itu tidak lucu, ataupun tidak bagus.

"Kagak pegel tu mulut, neng? Dari tadi senyum-senyum mulu?" ucap Dewa yang tiba-tiba berada disampingnya.

Renata mendongak, menatap uluran tangan Dewa dengan segelas coklat panas. "Thanks, Wa" ucapnya sambil menerima.

Dewa duduk disamping Renata. Mengamati gadis itu yang tengah meniup perlahan coklat panasnya.

"Enak, Wa!" seru Renata yang tanpa ia sadari, membuat hati Dewa menghangat.

RAPUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang