Renata menarik resleting ransel hitam miliknya ketika ia merasa telah selesai memasukkan semua alat dan semua hal yang sekiranya dibutuhkan untuk persaminya besok. "Sip, selesai!" ucapnya sambil mencolek hidungnya sendiri.
Ia menarik napasnya perlahan. Mendudukkan dirinya diatas kursi meja belajar berwarna putih miliknya. Kini, satu hal yang terpikirkan olehnya. Ia sedikit ragu melakukannya. Namun, tidak ada pilihan lain selain itu. Jadi, mau bagaimana?
Renata mengepalkan tangannya. Menguatkan hatinya, serta meyakinkan pemikirannya. Bahwa ia, akan baik-baik saja. "Stay positive, Nat!" ucapnya memyemangati diri sendiri.
Renata berdiri dari duduknya. Membuka pintu kamarnya perlahan yang langsung terhubung dengan ruang keluarga.
Ruang keluarga?
Apakah masih pantas disebut ruang keluarga?
Renata memejamkan matanya sejenak. Menahan rasa sesak di dalam dadanya ketika lagi dan lagi, keinginan itu muncul di dalam hatinya. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Bahwa sebanyak apapun ia berusaha, impiannya tidak akan tercapai. Harapannya tidak akan terwujud. Dan angan-angannya hanya akan menjadi omong kosong belaka. Lalu, untuk apa?
Ia berjalan melewatu ruang itu perlahan. Mengumpulkan seluruh keberaniannya dan berhenti di depan sebuah pintu putih yang menjulang dihadapannya. Ia sempat ragu. Tangannya sempat bergetar. Hatinya terasa sakit. Namun, lagi lagi keadaan memaksanya harus kuat. Meskipun berkali-kali ia ingin berkata bahwa ia ingin menyerah saja.
Tok tok
Ia mengetuk pintu itu perlahan. Membuat sang pemilik keluar dengan wajah yang memiliki tatapan begitu asing bagi Renata.
"K-kak, be-besok tolong an-anterin gue ke se-sekolah ya. Gu-gue harus be-berangkat pa-pagi. Gu-gue per-persami" ucap Renata terbata sambil menunduk.
Sedang seorang cowok yang berumur tiga tahun lebih tua darinya didepannya itu, kini mendengus keras-keras. Memalingkan wajahnya jengah seolah-olah seseorang dihadapannya kini merupakan seseorang yang pantas ia perlakukan dengan semena-mena.
"K-kak?" panggil Renata takut.
"Heh! Lo itu siapa berani nyuruh-nyuruh gue?"
Renata terdiam.
"Lo itu.. orang yang paling nggak berguna yang pernah gue temuin sepanjang hidup gue. Lo.. cuma bisa nyusahin! Lo ngerti nggak sih?! Lo itu.. parasit!"
Deg.
Renata memejamkan matanya. Rasa sakit itu kini menjalar lagi. Merambat di setiap anggota tubuhnya hingga rasanya ia seperti di eksekusi mati saat ini.
Brak!
Pintu di hadapannya kini tertutup dengan keras.
Renata memegang dadanya yang sakit. Hanya kata. Hanya dengan kata ia merasa kehilangan sesuatu yang seharusnya menjadi penyemangat di hidupnya. Hanya dengan kata ia merasa bahwa percuma ia ada di dunia.
Renata berjalan dengan cepat menuju kamarnya. Menutup pintunya agar tak seorang pun melihatnya. Melihat ketika setetes cairan bening itu mulai memenuhi kelopak matanya. Memperlihatkan kepada dunia bahwa saat ini, ia sedang tidak bisa berpura-pura bahagia.
Renata merasa lututnya melemas. Ia menyandarkan tubuhnya di pintu kamarnya agar ia tidak limbung dan jatuh ke lantai keras kamarnya. Ia menekuk lututnya. Memeluk seraya menyembunyikan wajahnya disana.
Ia menarik satu tangannya perlahan. Meletakkannya di depan mulutnya, agar suara isakan yang tak bisa ia tahan, bisa teredam seperti yang selalu ia lakukan. "Gue cuma berharap, bidsa ngerasain apa yang sahabat-sahabat gue sebut dengan keluarga, apa terlalu berlebihan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH
Fiksi Remaja"Ketika mereka yang kita anggap selalu merasa bahagia, ternyata bertolak belakang dari kenyataannya." Mungkin ini sebuah definisi, yang terkadang bisa salah jika kita hanya melihat dari sampulnya saja. Maka, gali lebih dalam lagi. Apa yang tersembun...