11

54 13 1
                                    

Gadis itu mengendap-ngendap di pintu kelasnya dengan merangkak. Melewati meja-meja lain untuk menuju meja dimana sahabat-sahabatnya berkumpul.

"Pagi, Wa.." ucapnya berbisik ketika melewati meja Dewa.

Dewa mengernyit. Semakin hari, semakin aneh aja gadis itu. "Hm"

Renata meneruskan mengendap-ngendapnya. Satu.. Dua... Tigaa!

Duarrr!

"Eh, ayam, eh ayam"

"Astagfirullah"

Kaget Alaya dan Prisilla bersamaan. Hanisha mengelus dada dengan wajah memerah. Ullezia mengelus dada dengan sedikit tersenyum dan berkata, "Renata ih, ngagetin aja!"

Renata terkekeh melihat wajah teman-temannya yang menahan amarah. "Kaget yaa? Kaget yaa?" godanya.

"Bisa mati muda gue kalo temenan ama lo lama-lama" ucap Hanisha.

"Ih, kenapa? Lo udah kangen ama Tuhan ya?" tanya Renata aneh.

Prisilla berdecak. "Diem lo!"

Renata menoleh. Sepertinya, sahabatnya yang satu ini memang gampang sekali terpancing emosi. "Ololo.. sayangnya aku ngambekan ni ee" ucap Renata dengan nada dimanja-manjakan sambil memegang dagu Prisilla.

Sedang sang empu menggeleng risih. "Apaan lo sayang-sayang?! Jijik gue!"

"Idihh, ngambekk"

Jika biasanya orang lain akan diam ketika Prisilla marah agar cepat reda, maka berbeda dengan Renata. Gadis itu akan terus menggodanya dengan terus tersenyum meskipun kemarahan Prisilla sudah sampai ubun-ubun. Biar saja. Biar terlatih kesabarannya. Begitu jawaban yang selalu keluar dari mulutnya jika ditanya.

Ullezia yang merasa aneh menarik dagu Renata untuk menghadap dirinya. "Lo abis ngapain semalem? Kok mata lo sembab, trus merah pulak?!"

Renata tersenyum lebar. "Kagak ada ngapa-ngapain!" jawabnya yang sudah pasti berbohong. Mata Renata itu mengembang sembab dan merah karena menangis. Bukan mata panda karena kurang tidur.

Ullezia berdecak. Mengapa sahabatnya yang satu ini benar-benar berbeda? Tugas tidak pernah dikerjakan. Tapi tidur selalu larut. Dikelas kegiatannya hanya tidur dan mendengarkan musik. Keluar kelas hanya untuk jajan ke kantin. Masuk lab hanya untuk mencari kesejukan. Mengapa hidupnya seperti tidak ada beban?

"Kenapa nggak kerjain tu--"

"Sstttt!" potong Renata. "Jangan bilang kata itu. Horror!" ucapnya sambil sedikit memelototkan matanya agar meyakinkan.

"Dasar gila!" cibir Alaya.

Renata menoleh. "Eh, makan yuk twins!" ajak Renata sumringah.

"Nggak! Pergi sendiri sono!" usir Alaya.

Renata mencebikkan bibirnya. "Eh, tapi tadi kalian ngomongin apa sih? Keknya serius banget?"

Yang ditanya malah saling melirik satu sama lain.

"Kenapa emang? Kepo lo!" sahut Hanisha.

"Ih, apa lo?! Kan gue cuma nanya!"

"Eh, lo laper kan? Gue anterin yuk!" tawar Ullezia.

Renata mengernyit. Sejak kapan Ullezia mau menemaninya pagi-pagi seperti ini ke kantin? Biasanya, meskipun Renata merengek satu jam tanpa henti sekalipun, Ullezia tidak akan mau. Kenapa sekarang tiba-tiba menawarkan diri?

"Zi, lo abis kesamber apaan?" tanya Renata sambil menempelkan punggung tangannya ke dahi Ullezia.

"Mau nggak?!" tanya Ullezia sambil menepis tangan Renata.

RAPUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang