Nadira menghampiri Fahri yang sedang bercanda dengan Ujang, karena saat itu jam pelajaran sedang kosong. Namun, kali ini Fahri hanya diam saja, menatap kehadiran Nadira dengan tatapan yang tidak seperti biasanya. Nadira merasa ada yang aneh, dan rasa bersalah mulai menggerogoti hatinya.
"Al, bisa kita berbicara berdua?" tanya Nadira dengan suara pelan, mencoba membuka percakapan.
"Bertiga aja. Gue nggak mau ada salah paham kedepannya," jawab Fahri dengan nada tegas, tapi ada sedikit kekecewaan di matanya.
"Baiklah," jawab Nadira, agak cemas.
"Put, ikut gue!" Fahri menyuruh Putra yang sedang duduk dengan malas.
"Iya, gue ikut," jawab Putra sambil mendengus, seolah-olah malas untuk berurusan dengan masalah ini.
Mereka bertiga berjalan menuju belakang toilet wanita. Nadira mengajak Fahri untuk berbicara empat mata mengenai apa yang sebenarnya terjadi, meskipun Fahri sudah mulai merasa tak enak dengan situasi ini.
"Apa yang ingin lu bicarakan?" tanya Fahri dengan nada datar, mencoba menahan perasaan yang mulai teraduk.
"Gue dijebak, Al," jawab Nadira dengan suara gemetar. "Rivaldo memberiku obat perangsang hingga akhirnya... hal itu terjadi. Dan sekarang, gue hamil anaknya."
Fahri terdiam. Kata-kata Nadira seperti petir yang menyambar hatinya. Namun, ia tetap mencoba menjaga ketenangan.
"Aku nggak sebodoh yang kamu kira, Karerina," ucap Fahri, menatap Nadira dengan tajam. "Selama gue sakit di rumah sakit waktu bulan puasa itu, abang selalu bilang padaku bahwa kamu diam-diam jalan sama Rivaldo."
Fahri berhenti sejenak, mengambil napas, lalu melanjutkan, "Gue terus berpikir positif tentang itu, menganggap itu cuma candaan abang gue. Tapi, semakin lama hubungan kita malah semakin merenggang. Bahkan sejak kita ta'aruf, gue harus terus yang mengirimkan pesan ke kamu."
Nadira terdiam sejenak, menatap Fahri dengan mata penuh penyesalan, sebelum ia berbicara lagi. "Aku tahu, wanita memang tidak boleh mengemis cinta. Tapi aku juga nggak mau terus-menerus mengemis perhatian kamu."
"Apa yang sebenarnya kamu mau, Karerina?" tanya Fahri, suaranya mulai bergetar karena rasa kecewa. "Semua ini sebenarnya salahmu, Al!" teriak Nadira, dengan air mata mulai mengalir di pipinya.
"Kenapa gue yang disalahkan? Kan jelas kamu yang selingkuh!" jawab Fahri, bingung dan marah.
"Kamu terlalu sibuk dengan keluargamu sendiri dan nggak pernah punya waktu untuk ngajak aku jalan!" teriak Nadira, suaranya mulai meninggi, penuh emosi.
"Kamu pikir gue nggak sibuk dengan kehidupan gue sendiri? Kamu pikir selama ini gue cuma mikirin dunia gue?" jawab Fahri dengan nada tinggi, hampir kehilangan kesabarannya.
"Iya! Kamu terlalu sibuk dengan hal-hal yang nggak berguna soal seni dan sebagainya!" teriak Nadira, semakin kesal.
"Kau!" Putra tiba-tiba berdiri, matanya berapi-api menatap Nadira, merasa marah atas perkataan Nadira.
"Tahan, jangan marah! Dia ibu hamil," cegah Fahri, dengan cepat menahan tubuh Putra yang sudah siap meledak.
"Yah, kalau kamu bilang hal-hal itu nggak berguna, gue terima, Karerina," jawab Fahri dengan nada datar, tapi ada rasa kecewa yang mendalam. "Tapi kamu nggak tahu apa yang gue alami di masa lalu. Jangan menghakimi gue begitu saja."
Fahri berjalan mendekat, menatap Nadira dengan penuh intensitas. "Lagipula dalam Islam, ta'aruf itu hanya diizinkan bertemu beberapa kali. Kalau setiap hari, itu namanya pacaran, Karerina," lanjut Fahri, suaranya mulai tegas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fahri (END)
Dla nastolatkówMahendra Sabil Al Fahri, seorang cowok yang selalu terlihat ceria dan penuh canda tawa di depan semua orang. Namun, di balik senyumnya yang menawan, ia menyimpan luka mendalam akibat perlakuan tak adil dari kedua orangtuanya. Topeng keceriaan yang i...