|20| Psikologi atau Hukum?

28 4 7
                                    

Jangan Lupa Vote & Spam komennya
.
.
HAPPY READING
.
.

●●🐢●●

Setelah sakit dan mendapat perawatan terbaik dari Dokter Rafli. Keadaan Aliqa kini mulai membaik. Ia kembali beraktifitas dengan normal. Ia melangkah menuju ke depan cerminnya untuk sedikit memberikan warna pada bibirnya agar tidak terlihat pucat.

Aliqa berjalan menuju keluar dari kamarnya dan menuruni tangga menuju ke dapur untuk sarapan. Di sana sudah ada Naras, Papa dan Mama. Tumben sekali. Batin Aliqa.

Aliqa menarik kursi dan duduk di sana. Sementara Bi Sri menyiapkan roti dan mengolesinya dengan selai cokelat, serta menuangkan teh hangat ke gelas Aliqa. Hanya Aliqa yang belum mendapat pelayanan tersebut.

Saat Aliqa hendak menyantap roti yang telah diberikan oleh Bi Sri, Papanya Aliqa berdehem. Hal tersebut membuat pandangan Mama, Naras dan Aliqa menatap Papa.

Selang beberapa detik dari dehemannya, beliau akhirnya membuka sebuah topik pembicaraan yang sangat penting untuk masa depan putri sulungnya.

"Jadi, kamu mau lanjut dimana, Nak?" tanya Papa sambil menatap Aliqa. Aliqa mencerna pertanyaan dari sang Papa.

"Aliqa mau lanjut di UI, Pa."

"What?! Gila! Keren banget!" seru Naras. Aliqa hanya tersenyum tipis menanggapi kekaguman Naras.

"Kamu yakin?" tanya Mama.

"Jurusan apa?" tanya Papa.

Aliqa bergantian menatap orang tuanya. Ia tahu bahwa saat ia menyebutkan jurusan pilihannya, ia tidak akan mendapat persetujuan. Karena ini sangat berbeda dari keinginan orang tuannya.

"Emm... Aliqa sangat yakin dan akan ambil jurusan Psikologi," ujar Aliqa dengan senyumannya untuk mengatasi perasaan takutnya.

"Gak!" tolak Papa dengan penuh ego.

Mama hanya diam saja menatap suaminya dan anak sulungnya. Ia tahu apa yang akan terjadi di meja makan ini.

"Kenapa?" tanya Aliqa pada sang Papa.

"Kamu anak IPA, kenapa ambil jurusan Psikologi? Kalaupun kamu mau keluar dari jurusan kamu, ambil jurusan bisnis aja harusnya," ucap Papa.

"Aliqa lebih suka mempelajari tentang kesehatan mental orang lain daripada hitung-hitungan dalam suatu bisnis. Lagi pula, Aliqa yakin kalau banyak anak-anak diluar sana yang sebenarnya gak baik-baik aja," ucap Aliqa.

"Kamu gak usah ngurusin hidup orang lain. Tahu apa kamu tentang kehidupan anak diluar sana," ucap Papa.

Mama menatap anak sulungnya dan mengerti apa yang sedang dirasakan oleh anak sulungnya. Mama berusaha mengalihkan topik agar Papa tidak memojokkan keinginan Aliqa.

"Peluang kerjanya gimana?" tanya Mama.

"Bisa jadi psikolog, konsultan bisnis, HRD, dosen juga bisa kalau ambil S3," jawab Aliqa.

"Tetap gak boleh!" tegas Papa. Kali ini membuat Aliqa tersentak dan merasakan sesak pada nafasnya. Namun, Aliqa berusaha terlihat biasa saja.

"Tapi, Aliqa—"

"Kamu mau ngeramal orang?!"

Aliqa sudah tidak tahan dengan Papanya yang sangat pemarah. Bisa di bilang tempramen? Ya, bisa kalau bagi sebagian orang yang baru mengenal sang Papa.

Aliqa mendorong kursinya dan berlari menuju ke kamar. Saat sudah masuk ke dalam kamarnya, Aliqa segera mencari obat yang diberikan oleh Dokter Rafli kemarin dan meminumnya.

Coconut Ice [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang