31: Tabung Oksigen

1.4K 107 0
                                    

"LO JAHAT!! GUE BENCI LO!!!"

Devano mengerutkan dahinya bingung mendengar itu. Perasaan bersalahnya terhadap Amam kian membesar. Bahkan, Amam sendiri saja sampai-sampai bisa berkata seperti itu padanya.

"Kenapa?" tanya Devano pada Amam, mencoba mengajak lelaki itu berbicara baik-baik.

Amam tidak membalas pertanyaan dari Devano. Lelaki itu memutuskan untuk membuang wajahnya kesamping dengan kesal agar tidak bertatapan secara langsung dengan wajah Devano. Sedangkan Devano, pemuda itu hanya menatap Amam dengan tatapan gemas.

Devano bingung. Apa yang harus dirinya lakukan sekarang. Mengurus pihak bawah itu memang sulit, apalagi ketika sang empu marah akibat ulah dominannya sendiri. Untuk saat ini, ada dua perasaan yang berada di dalam diri Devano sekarang, yaitu perasaan bersalah dan senang.

Bukan senang karena Amam benci kepadanya. Tetapi Devano berpikir, apakah sesuatu yang dipikirkannya waktu itu benar terjadi kalau Amam cemburu? Apakah hal itu tandanya Amam mulai jatuh cinta pada Devano? Apa benih-benih cinta yang Devano usahakan pada Amam mulai tumbuh?

"Sayang," panggil Devano dengan suara yang lembut. Pemuda tinggi itu mencoba untuk mengusap surai rambut Amam yang berantakan. Namun pada saat itu juga, tangan besar Devano ditangkis kasar oleh sang pemilik rambut.

"Aku salah?" tanyanya lagi, Devano menarik tubuh mungil Amam agar mendekat padanya.

Amam yang tersadar ketika Devano hendak menarik paksa tubuhnya itupun lantas dengan jurus andalannya, Amam memberontak sekuat tenaga-tidak mau jika Devano terus memaksanya, sesekali melayangkan tangannya pada Devano dengan kesal.

"Udah mulai nakal ya sekarang?" Devano kembali menarik tubuh Amam.

Amam masih tidak menggubrisnya. Menatap kearah kiri-tidak mau menatap muka brengsek Devano. Lelaki itu malah terus-terusan dibuat mengingat kejadian dimana dirinya kesal pada Devano dan berakhir berada dibawah jurang sendirian.

Devano yang hendak membuka suaranya lagipun, mendadak mendengar isakan tangis dari Amam, "Anak kecil masa nangis?"

Amam yang tersadar karena Devano sedang mengejeknya itupun lantas dengan cepat mengelap kedua pipinya yang mengeluarkan air mata dan berusaha untuk memberhentikan tangisan kecil bak bayinya itu.

Devano tertawa melihatnya. Pemuda itu ingin berbicara empat mata dengan Amam. Tapi, apalah daya, Amam tidak mau menatap apalagi melirik kearahnya. Jika dipaksa, jurus andalan dari bocil itu semakin merajalela.

Devano beranjak dari posisinya. Pemuda itu berpindah tempat menjadi di samping Amam yang dimana Amam menatap kearah tersebut. Devano memasang raut wajah melas karena Amam tidak mau berbicara padanya. Lelaki mungil itu harus bisa menahan tawanya melihat wajah Devano yang tampan itu sengaja dibuat melas.

Tidak cocok!

Amam terdiam saat Devano ikut membaringkan tubuhnya disamping. Setelahnya, pemuda itu menatap Amam dengan tatapan gemas, membuat kedua pipi Amam hampir memerah karenanya.

"Bocil kakak yang lucu ini kenapa nangis hm?" tanya Devano, lalu menekan hidung Amam lembut menggunakan jarinya.

Amam mengerjapkan matanya berkali-kali ketika Devano semakin mendektkan wajahnya. Deru nafas dari pemuda itu pun terasa hangat diwajahnya. Harum lemon mint milik Devano malah membuat Amam betah berada di posisi seperti ini.

"Gak mau jawab?" tanya Devano lagi.

Amam menggeleng sebagai jawaban.

"Jawab atau mau kakak cium biar bisa jawab?" tanyanya sekali lagi, jahil.

Amam menggeleng kasar kali ini.

Devano tersenyum menggoda. Pemuda itu kemudian memajukan wajahnya, hendak mengecup Amam, namun dengan cepat Amam menjauhkan wajah kakak kelasnya tersebut.

"GAK MAU!" kata Amam dengan nada bicara yang meninggi.

Devano tertawa kecil mendengarnya, menjahili Amam ternyata seru juga.

"Kenapa nangis?" tanya Devano sekali lagi yang tak kunjung dijawab oleh Amam.

"Kakak nyebelin," ujar Amam jujur. Sementara Devano hanya mengangguk. Paham dengan apa yang dimaksud dari kata 'nyebelin' yang dikatakan Amam.

"Maaf." hanya perkataan itu yang bisa Devano ucapkan. Permintaan maaf adalah jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah. Tapi, ada juga manusia yang beranggapan, bahwa permintaan maaf saja tidak cukup bagi mereka. Karena, mereka merasa, jika perbuatan yang orang-orang lakukan terhadap mereka tersebut telah melampaui batas kewajaran hingga sulit untuk dimaafkan.

Amam bangkit dari rebahannya, diikuti oleh Devano yang siap sedia disebelahnya.

"Masih sakit?" Devano bertanya seraya mengusap puncak kepala Amam.

Amam mengangguk.

"Istirahat lagi," titah Devano namun kali ini Amam menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

Keduanya memilih untuk diam. Suasana kian hening karena tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut keduanya. Devano yang notabennya pekaaan itu lantas menarik tubuh Amam ke dalam dekapan hangatnya yang dimana Amam sangat menyukai hal itu.

Amam mengerjapkan matanya kaget ketika Devano tiba-tiba memeluknya erat. Tubuh Devano terasa begitu hangat. Wangi parfum dari kaos yang digunakan pemuda itu pun tercium harum di hidung Amam. Padahal Amam saat ini sedang marah-marahnya dengan Devano. Tapi, hanya modal pelukan hangat dari Devano mampu membuat amarah Amam menghilang begitu saja.

"Maafin kakak," permintaan maaf terus keluar dari mulut Devano.

Amam membisu di tempat. Seolah, pelukan hangat Devano mampu membuatnya diam-sesekali mencerna permintaan maaf dari Devano yang tidak ada habis-habisnya. Amam bingung harus menjawab apa sekarang.

"Kakak," panggil Amam. Lelaki itu mendongak, mencoba untuk menatap Devano.

"Kenapa?"

Amam menelan salivanya susah payah. Dirinya ingin sekali berkata jujur, namun entah kenapa begitu sulit untuk mengucapkannya.

"A-aku... gak suka kalau kakak dekat sama kak Samuel." Amam menundukkan kepalanya dalam-dalam. Malu. Jujur lebih baik kan? Daripada harus dipendam di dalam hati, takutnya jadi penyakit.

Devano menaikkan sebelah alisnya, "Kenapa nggak suka?"

"Gapapa sih," jawab Amam mendadak kikuk, "Kakak sama kak Randy aja deh sana, jangan sama aku kalo gitu." lanjutnya, berusaha untuk mencairkan suasana yang nampak canggung itu.

Devano tersenyum gembira mendengarnya. Jangan ditanya perasaan Devano saat ini. Berbunga-bunga sekali. Penuturan dari Amam tentang dirinya saat bersama dengan Samuel membuat lelaki itu tidak suka? Apa-apaan itu. Dasar bocil. Kalo cemburu bilang aja sih, gak usah malu-malu.

Devano memangku Amam-mendekatkan wajahnya pada wajah lelaki itu dan kemudian mengecup bibir ranum Amam tanpa aba-aba. Kecupan lembut itu berubah menjadi sebuah lumatan lembut. Devano menyesap bibir ranum Amam yang tampak masih polos itu. Melumatnya dengan hasrat seksual yang mulai terangsang-mengabsen barisan gigi gingsul Amam dan terus melumatnya tanpa jeda.

Sementara Amam, lelaki itu hanya pasrah mengikuti alur permainan dari Devano yang sedang melumat bibirnya. Disisi lain juga, Amam takut jika bisa saja nanti muncul seseorang dari luar tenda dan memergoki mereka berdua yang sedang melakukan ini.

Amam mencoba melepaskan bibirnya dari lumatan Devano. Tapi, kakak kelasnya itu terus memperdalam lumatannya. Hal itu sontak membuat Amam semakin sulit melepaskannya.

"K-kakh..."

Devano yang tersadar karena Amam mulai kehabisan oksigennya pun lantas menyudahi acaranya. Devano mengecup kedua pipi Amam bertubi-tubi membuat lelaki itu melenguh dibuatnya.

"Lain kalo mau kakak sediain tabung oksigen gak? Biar kakak bisa semakin lama cium bibir kamu."

Love's Or Happiness? [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang