***
"Albern...?" beo Brianna. Untuk apa pria itu disini?
Albern tersenyum tipis, salah satu tangannya terangkat menepuk-nepuk kepala Brianna dengan pelan "Pertunjukan yang sangat bagus".
Brianna menaikan alisnya, jadi pria ini ikut menonton pertunjukan tadi? Mengendikkan bahunya berusaha untuk tidak peduli, Brianna kembali fokus pada dua insan dihadapannya.
Matanya beralih pada Aluna yang kini tengah menunduk sambil tersenyum malu-malu, bahkan di pipinya sudah ada rona merah yang menghiasi wajahnya. Brianna mengernyit lalu ia mengikuti arah pandang Aluna, kemudian menggeleng pelan 'orang ini mengidap penyakit kelainan kah? Kenapa setiap pria yang bersamanya selalu bersikap seperti itu?'
"Aluna" panggil Brianna dengan tenang.
Merasa terpanggil Aluna mendongak. Seperti biasa ia menampilkan raut wajah polos nan lugu "Kenapa?" suaranya sengaja mendayu-dayu.
Brianna berdecih dalam hati. Tak ingin kalah Brianna mengikuti permainan Aluna "Ku dengar jika kamu dengan Vivian menjadi saudara tiri?"
Aluna mengangguk "Ya. Memangnya kenapa?"
"Tidak ada. Hanya saja jika ku lihat-lihat Vivian tampak tak suka padamu" pancingnya. 'tak terkecuali aku' lanjutnya mencibir dalam hati.
Wajah Aluna berubah murung "A-ah itu, aku juga tidak tahu kenapa Vivian terlihat benci padaku. Padahal aku begitu senang karena sekarang kami bersaudara, tapi sepertinya Vivian tidak begitu" Aluna berujar dengan sedih, guna menarik simpatik orang padanya kecuali Brianna dan Albern tentu saja.
Brianna memutar bola matanya muak.
"Ah begitukah? Tapi setahuku Vivian bukan tipe orang yang membenci tanpa sebab. Rasanya aneh kan bila seseorang membencimu tanpa alasan? Kecuali jika itu rasa iri yang bersarang dalam hati" ungkap Brianna tersenyum simpul.
Seketika Aluna merasa tersindir. "Y-ya kau benar. Mungkin saja Vivian merasa iri padaku karena orang-orang lebih menyayangiku dari pada dia" ada nada sombong dalam ucapannya.
Brianna mendengus kecil "Iri? Sepertinya kata iri lebih cocok untukmu".
Aluna mengepalkan tangannya "Apa maksudmu?!"
"Tidak ada. Aku hanya bercanda" katanya dengan tersenyum manis.
"Kau?! Berhentilah bermain-main!" geram Kenan.
"Sejujurnya memang itu tujuanku sih!" Brianna dengan santainya malah memainkan kuku jarinya.
Rahang Kenan mengeras "Sialan! Berhenti bermain-main atau kau—"
KAMU SEDANG MEMBACA
BRIANNA [Proses Revisi]
FantasiMatanya mengerjap pelan menyesuaikan cahaya yang menembus masuk dalam indera penglihatannya. Perlahan-lahan terbuka dengan sempurna, netra matanya melihat ruangan yang terlihat besar dan megah dihiasi dengan aksesoris klasik . Namun, anehnya ada beb...