BAB 1

4.8K 653 53
                                    

Jam berapa kalian baca cerita ini?

Kalian baca cerita ini jalur apa?

Siap ikut meramaikan tagar cerita ini di ig dan tiktok? 🤭✌

Selamat membaca!

"Assalamu'alaikum warahmatullah ... assalamu'alaikum warahmatullah ... "

Baru saja Fatan menyelesaikan salamnya yang kedua, terdengar bunyi ketukan di pintu kamarnya.

Tok tok tok

"Fatan sayang kamu sudah selesai belum salat isya'-nya?"

Hening. Fatan enggan menjawab pertanyaan itu. Lebih tepatnya tidak mau menjawabnya. Ia lebih memilih membaca doa dengan kedua tangan yang ia tengadahkan.

Matanya terpejam dan bibirnya menggumam doa dengan pelan. Berharap mendapat kekhsyukan.

Namun, belum satu menit ia berdoa. Kembali terdengar suara ketukan.

Tok tok tok

"Fatan makan malam dulu, Sayang. Bunda udah masakin sarden kesukaan kamu, Nak."

Fatan menghela napas pelan. Menahan kesal ia membuka mata sejenak lalu melanjutkan doanya yang belum selesai.

"Fatan dari siang kamu belum makan loh, Nak. Bunda khawatir kamu kena maag kalo terus-terusan telat makan. Sudah satu minggu loh bunda lihat kamu makannya nggak teratur."

"Fatan sayang. Keluar dulu ya, Nak. Kita makan malam," pinta Aisyah lembut.

Namun, masih belum ada jawaban dari Fatan. Laki-laki itu masih sibuk memanjatkan doa. Sebenarnya ia tahu bila seorang ibu memanggil, maka seharusnya ia segera menjawab. Bukan malah mengabaikan dan mendiamkannya seperti ini.

Akan tetapi, hubungan keduanya tidak seperti anak dan ibu pada umumnya. Fatan membenci sang bunda, meski perempuan itu tampak begitu menyayanginya. Untuk itu, Fatan tidak mau repot-repot menjawab panggilan Aisyah ketika dirinya masih belum selesai berdoa.

Durhaka? Iya, Fatan tahu dirinya telah durhaka karena membenci perempuan yang telah melahirkannya. Tidak seharusnya ia bersikap seperti itu. Dosanya tidak main-main. Namun, Fatan benar-benar belum bisa menerima kenyataan mengenai asal usulnya. Hal itu membuat ia membenci Aisyah karena menurutnya semua itu adalah kesalahan sang bunda.

"Fatan sayang makan dul—"

"Tahu orang lagi berdoa nggak sih!" teriak Fatan emosi karena sang bunda terus-terusan memanggilnya.

Laki-laki berhidung mancung itu melepas kopiah hitamnya dan melipat sajadahnya dengan tergesa. Ia berjalan cepat menuju pintu dan membukanya dengan kasar.

Aisyah—sang bunda—tersentak oleh perilaku sang anak. Meski, ini bukan kali pertamanya, ia melihat sang anak bersikap kurang sopan padanya, tetap saja Aisyah merasakan kegetiran di hatinya.

"Bunda bisa nggak sih nggak usah ganggu Fatan mulu?" Fatan berdiri di ambang pintu dengan tatapan kesalnya.

"Lagi belajar dipanggil suruh minum susu, lagi main game suruh tidur, lagi tidur dibagungin. Dan sekarang Fatan lagi berdoa juga direcokin, dipanggilin mulu. Bisa sabar sebentar nggak sih, Bun?!" ucapnya dengan nada agak tinggi.

Laki-laki itu seolah lupa jika perempuan yang berada di depannya sekarang adalah pemilik surganya, yang harus ia hormati dan hargai.

"Lagian Fatan itu udah gede nggak usah diingetin buat makan pun kalau Fatan lapar ya bakalan nyari sendiri. Fatan bukan anak bayi yang harus disuapin tiap mau makan."

EL - FATAN (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang